Audit BPK: Defisit APBN 2020 Melebar Jadi 6,14% PDB

KATADATA/
Ilustrasi. Berdasarkan hasil audit BPK, efisit anggaran tahun 2020 mencapai Rp 947,7 triliun
22/6/2021, 14.22 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tahun 2020 kepada DPR pada hari ini, Selasa (22/6). Dalam hasil audit tersebut. Berdasarkan audit tersebut, defisit APBN melebar dari laporan pemerintah sebesar 6,09% terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 6,14% terhadap PDB.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan bahwa defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,7 triliun. "Angka tersebut 6,14% dari PDB," kata Agung dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (22/6).

Defisit terjadi karena realisasi pendapatan negara dan hibah dilaporkan sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93% dari anggaran. Sementara belanja negara lebih besar, yakni Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari target.

Penerimaan negara dan hibah meliputi penerimaan perpajakan Rp 1.285,14 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 343,81 triliun, dan penerimaan hibah Rp 18,83 triliun. Penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pendanaan APBN, hanya mencapai 91,50% dari anggaran atau turun 16,88% dibandingkan dengan tahun 2019 sebesar Rp 1.546,14 triliun. Sedangkan, pengeluaran negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.832,95 triliun, transfer ke daerah Rp 691,43 triliun, dan dana desa Rp 71,10 triliun.

Agung menyebutkan, realisasi pembiayaan mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisit. "Sehingga terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran Rp 245,59 triliun," katanya.

Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan surat berharga negara (SBN), pinjaman dalam negeri, dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp 1.225,99 triliun. Dengan demikian, pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan negara mencapai Rp 1.633,6 triliun atau meleset dari target sebesar Rp 1.699,9 triliun. Meski target penerimaan meleset, realisasi belanja lebih rendah  yakni Rp 2.589,9 triliun atau 94,6% dari pagu. Alhasil, defisit anggaran berada di bawah target sebesar 6,34% terhadap PDB. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan negara terkontraksi 16,7% atau turun Rp 327 triliun dibandingkan 2019. Jika dibandingkan APBN awal, penurunannya bahkan mencapai Rp 599 triliun. Sementara belanja negara naik 12,2% dibandingkan 2019, meski realisasinya dari pagu lebih rendah. 

"Defisit APBN mencapai 956,3 triliun atau 6,09% terhadap PDB, angka ini lebih baik dibandingkan Perpres 72 sebesar Rp 1.039 triliun. Namun, defisit ini jauh lebih besar dari APBN awal yang kita desain dalam kondisi sehat yakni 1,76% terhadap PDB," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Realisasi Pelaksanaan APBN TA 2020, awal Januari 2021. 

Sri Mulyani menjelaskan, APBN semula didesain lebih sehat tetapi mampu menunjang ekonomi dengan defisit APBN tetapi keseimbangan primer yang mendekati nol. Namun, pandemi Covid-19 mengubah keadaan. 

Target penerimaan negara dua kali dipangkas dari APBN awal mencapai Rp 532,2 triliun, sedangkan anggaran belanja negara justru naik untuk memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19 mencapai Rp 429,9 triliun.  Meski target penerimaan negara telah dipangkas, realisasinya masih lebih rendah dari yang diharapkan. "Ini adalah syok yang terjadi karena penerimaan pajak yang turun dan insentif yang diberikan kepada sektor usaha," katanya. 

Sementara, belanja negara pada tahun lalu masih meningkat dibandingkan 2019 meski realisasinya lebih rendah dari harapan. Sri Mulyani pada awal Desember 2020 lalu memproyeksi belanja negara sepanjang 2020 akan terealisasi Rp 2.639,8 triliun atau 96,4% target.

Realisasi belanja negara pada 2020 terutama didorong oleh belanja pemerintah pusat yang naik 22,1% mencapai Rp 1.827,4 triliun. Meski demikian, realisasi ini hanya 92,5% dari target dalam Perpres 72.  

Pemerintah menargetkan defisit APBN akan menurun pada tahun ini menjadi 5,7% terhadap PDB dan kembali berada di bawah 3% terhadap PDB pada 2023 seperti tergambar dalam databoks di bawah ini.

 
Reporter: Agatha Olivia Victoria