Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021 mencapai Rp 6.418,5 triliun atau 40,49% dari produk domestik bruto (PDB). Uyang tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 6.527,29 triliun, tetapi naik 22% dibandingkan Mei 2020 Rp 5.258,57 triliun.
"Hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi," tulis APBN KiTa edisi Juni 2021 yang dirilis Kamis (24/6).
Utang pemerintah berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 5.580,02 triliun dan pinjaman Rp 838,13 triliun. Porsi utang berbentuk SBN tercatat 86,94% yang meliputi SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan SBN valuta asing Rp 1.126,45 triliun.
SBN domestik terdiri dari surat utang negara (SUN) Rp 3.606,07 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 747,49 triliun. Sementara SBN valas mencakup SUN Rp 984,2 triliun dan SBSN Rp 242,2 triliun.
Pinjaman berasal dari dalam negeri Rp 12,32 triliun dan luar negeri Rp 828,51 triliun. Pinjaman dalam negeri terdiri dari bilateral Rp 316,83 triliun, multilateral Rp 465,52 triliun, dan bank komersial Rp 43,46 triliun.
Sepanjang tahun ini, realisasi pembiayaan utang mencapai Rp 330,09 triliun. Pembiayaan tersebut digunakan sebagai instrumen untuk mendukung kebijakan countercyclical yang dikelola secara pruden, fleksibel, dan terukur, terutama untuk menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Kebutuhan utang meningkat seiring pandemi Covid-19. Namun, pemerintah memastikan strategi memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman tetap dilakukan. Salah satunya terlihat dari risiko suku bunga mengambang dan suku bunga tetap.
Dalam rangka memitigasi pembiayaan dan mengurangi ketergantungan akan valuta asing, porsi valas dalam penerbitan utang diturunkan dari 44,6% pada tahun 2015 menjadi 32% pada akhir Mei 2021. Indikator risiko refinancing juga tejaga dengan waktu jatuh tempo utang rata-rata yang menurun dari semula 9,39 tahun pada tahun 2015 menjadi 8,7 tahun pada Mei 2021.
Pemerintah juga memantau potensi tapering off oleh Pemerintah Amerika Serikat yang dapat memicu kenaikan imbal hasil obligasi tetap.
Lonjakan utang pemerintah selama Pandemi Covid-19 menimbulka kekhawatiran dari Badan Pemeriksa Keuangan terkait kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang di massa depan. Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan, tren pertumbuhan utang sudah jauh melampaui pertumbuhan PDB.
"Tren penambahan utang memunculkan kekhawatiran penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Ketua BPK Agung Firmansyah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (22/6).
Ia menjelaskan, indikator kerentanan utang pemerintah pada tahun lalu sudah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR). Rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06% juga melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.
Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF 90-150%. Demikian pula dengan indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 yang sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators, yaitu di bawah 0%.