Cina tengah menghadapi ancaman risiko gangguan sistem keuangan akibat gagal bayar utang perusahaan properti terbesar kedua di negaranya, Evergrande. Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat efek dari krisis Evergrande dapat menjadi risiko baru bagi ekonomi Indonesia.
“Kami melihat ada risiko baru yaitu stabilitas sektor keuangan di Tiongkok karena terjadinya gagal bayar dari perusahaan konstruksi terbesar kedua di negara tersebut,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Kamis (23/9).
Sri Mulyani menjelaskan, situasi yang dihadapi Cina tak mudah. Utang yang dimiliki Evergrande mencapai lebih dari US$ 300 miliar atau setara Rp 4.277 triliun. “Ini akan memiliki dampak besar pada perekonomian domestik di Tiongkok maupun dunia. Jadi kita juga harus mewaspadai apa yang terjadi pada ekonomi Tiongkok dengan fenomena Evergrande ini,” katanya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya juga menyebut isu kegagalan korporasi di Negara Panda ini akan menjadi salah satu sentimen negatif yang dapat mempengaruhi arus modal asing ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Isu kegagalan korporasi di Tiongkok, rencana pengurangan stimulus The Fed, dan kenaikan kasus Covid-19 beberapa negara mempengaruhi perkembangan portofolio negara berkembang," ujar Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan September, Selasa (21/9).
Perry mengatakan, sentimen krisis yang tengah dihadapi Evergrande mempengaruhi pasar modal di dalam negeri. Namun, ia mengatakan dampak sentimen ini terhadap pasar surat berharga negara dan nilai tukar tidak banyak.
Ia menjelaskan investasi portofolio di Indonesia sejak Juli hingga 17 September mencatatkan arus modal masuk US$ 1,5 miliar. Hal ini, menurut dia, memperlihatkan bahwa sentimen Evergrande tak berdampak besar pada pasar keuangan domestik. "Tentu saja ada ketidakpastian yang tinggi di pasar saham akibat sentimen ini, sehingga sempat mempengaruhi pasar saham. Namun, kami lihat dampaknya perlahan mereda," kata dia.
Bank sentral Cina, The People's Bank of China (PBoC) telah berupaya mencegah rembetan gagal bayar Evergrande pada sistem keuangan negara tersebut, antara lain dengan menyuntikkan dana 90 miliar yuan (US$ 13,9 miliar) atau sekitar Rp 198 triliun ke dalam sistem perbankan. Hal ini direspons positif oleh pasar.
Evergrande kesulitan membayar utang jumbo yang jatuh tempo pada Kamis pekan ini. Evergrande harus membayar bunga obligasi sebesar US$ 83,5 juta atau lebih Rp 1,2 triliun. Ada pula pembayaran bunga surat utang senilai US$ 47,5 juta atau sekitar Rp 676 miliar. Kedua obligasi akan gagal bayar apabila Evergrande tidak melunasinya dalam waktu 30 hari.
Chariman Evergrande Hui Ka Yan berusaha meyakinkan investor perusahaannya dapat keluar dari situasi sulit saat ini. Ia memastikan pihaknya akan menyelesaikan pesaanan properti dan melanjutkan pembangunan konstruksi yang tertunda.
Mengutip Reuters, komentar Hui Ka Yan pada Rabu malam (23/9) jelas ditujukan untuk menstabilkan pasar. "Tampaknya tidak banyak informasi bagi pemegang obligasi. Belum ada rencana yang jelas, tapi kami memperkirakan utang akan direstrukturisasi di beberapa titik," kata seorang sumber yang mengetahui situasi tersebut, seperti dikutip dari Reuters.
Investor global gelisah karena tenggat waktu semakin dekat, khawatir bahwa kegagalan bayar perusahaan dapat menyebar ke luar sektor properti negara itu dan menimbulkan risiko sistemik pada sistem keuangan Cina.
Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell mengatakan pada Rabu (22/9) bahwa masalah Evergrande tampaknya hanya terjadi di Tiongkok dan tak melihat akan memberikan dampak paralel dengan sektor korporasi Amerika Serikat.
“Dalam hal implikasinya bagi kami, tidak banyak paparan langsung Amerika Serikat. Bank-bank besar Cina tidak terlalu terekspos, tetapi Anda akan khawatir itu akan mempengaruhi kondisi keuangan global melalui saluran kepercayaan global dan hal semacam itu," kata Powell kepada wartawan setelah pertemuan kebijakan The Fed.
Para analis memperkirakan krisis Evergrande dapat menekan perekonomian Tiongkok pada tahun ini. Bank of America memangkas proyeksi ekonomi Cina pada tahun ini dari 8,3% menjadi 8%. Hal serupa juga dilakukan Fitch Ratings yang memangkas prospek pertumbuhan ekonomi kedua terbesar dunia dari 8,4% menjadi 8,1%.
Cina merupakan negara mitra dagang utama Indonesia, yakni tujuan terbesar eskpor sekaligus negara importir terbesar. Negara tembok raksasa ini juga menempati posisi lima besar negara penanam modal terbesar berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal.