Rupiah Kian Melemah ke 14.155/US$ Tertekan Kenaikan Yield Obligasi AS

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Kurs rupiah pagi ini melemah bersama mayoritas mata uang Asia.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/10/2021, 10.01 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,2% ke level Rp 14.150 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah diramal kian melemah di tengah kenaikan yield US Treasury akibat tertekan sentimen tapering off The Fed.

Mengutip Bloomberg, kurs garuda terus melemah ke posisi Rp 14.160 pada pukul 09.55 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin Rp 14.123 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah. Yen Jepang melemah 0,06%, dolar Taiwan 0,15%, won Korea Selatan 0,20%, peso Filipina 0,11%, yuan Cina 0,11% dan ringgit Malaysia 0,02%. Sementera bath Thailand dan rupee India kompak menguat 0,01% bersama dolar Singapura 0,06%. Sedangkan dolar Hong Kong stagnan.

Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan nilai tukar kembali melemah hari ini di kisaran Rp 14.150, dengan potensi support di level Rp 14.100 per dolar AS. Pelemahan tertekan oleh tren kenaikan tingkat yield obligasi pemerintah AS dalam beberapa hari terakhir.

"Kenaikan yield ini menyusul data klaim tunjangan pengangguran mingguan AS yang dirilis semalam hasilnya menunjukkan jumlah klaim yang di bawah ekspektasi," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Jumat (22/10).

Berdasarkan treausry.gov, yield US Treasury tenor 10 tahun kembali naik menjadi 1,68% pada perdagangan kemarin. Ini merupakan rekor tertinggi dalam lima bulan terakhir.

Ariston meyebut, kenaikan yield US Treasury didorong oleh data klaim pengangguran yang berkurang mengindikasikan perbaikan di pasar tenaga kerja. Data ini merupakan salah satu indikator utama yang dipakai bank sentral AS, The Fed untuk memulai pengetatan moneternya atau tapering off.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Kamis (21/10) melaporkan, klaim baru pengangguran pada pekan ketiga yang berakhir pada 16 Oktober sebanyak 290 ribu klaim. Jumlah ini berkurang 6 ribu dari pekan sebelumnya. Ini sekaligus dua minggu berturut-turut jumlah klaim berada di bawah 300 ribu, sekaligus yang terendah sejak awal pandemi.

Selain sentimen tapering off The Fed, Ariston juga menyebut sentimen negatif datang dari perkembangan penyelesaian utang Evergrande yang tak kunjung usai. Raksasa properti Cina ini berpotensi default jika gagal melunasi kupon obligasi berdenominasi dolar AS senilai US$ 83 juta. Waktu tenggang pembayaran surat utang tersebut yakni pada besok (23/10), jika gagal maka secara teknis Evergrande telah default.

"Pasar mewaspadai perkembangan isu utang Evergrande dimana kabar terbaru bahwa perusahaan ini kesulitan menjual anak perusahaannya yang hasil penjualannya akan digunakan untuk membayar utang," kata Ariston.

Evergrande awal bulan ini mengumumkan rencana penjualan sebagian dari unit layanananya di Evergrande Property Service kepada pesaingnya Hopson. Kendati demikian, Hopson pada Rabu malam mengumumkan batal mengakuisisi 50,1% saham unit Evergrande tersebut. Kesepakatan itu kabarnya bernilai US$ 2,58 miliar.

Evergrande sebelumnya telah menjual sejumlah sahamnya di Shengjing Bank pada akhir bulan lalu senilai US$ 1,5 miliar. Kendati demikian, Evergande menyebut setelah penjualan tersebut, tidak ada kemajuan yang substansial untuk penjualan aset perusahaan lainnya.

Selain dua sentimen negatif tersebut, Ariston juga mengatakan laporan kinerja sejumlah perusahaan pekan lalu mungkin bisa menahan pelemahan nilai tukar agar tidak jatuh lebih dalam. Seperti diketahui, sejumlah perusahaan melaporkan pendapatan kuartal III yang melebihi ekspektasi, seperti JP Mrogan, Delta Air, Goldman Sachs, hingga Morgan Stanley.

Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga mengantisipasi dua sentimen utama global yakni tapering off dan krisis Evergande dapat mengoreksi rupiah hari ini. Kendati demikian, ia masih optimistis nilai tukar bergerak stabil di kisaran Rp 14.090-Rp 14.180 per dolar AS.

"Secara umum prospek Rupiah ke depan cukup baik seiring tingginya surplus neraca perdagangan dalam beberapa bulan terakhir dan ekspektasi masih tingginya surplus neraca perdagangan ke depan," kata Rully kepada Katadata.co.id

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada September kembali surplus US$ 4,37 miliar sehingga secara kumulatif Januari September 2021 mencapai US$ 25 miliar. Nilai ekspor turun 3,84% menjadi US$ 20,6 miliar, sedangkam impor turun 2,67% menjadi US$ 16,23 miliar.

Reporter: Abdul Azis Said