Riset: 97% Pembicaraan di Medsos Respons Negatif 'Tax Amnesty' Jilid 2

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Ilustrasi. Pemerintah berencana menggelar program pengungkapan sukarela (PPS) yang lumrah dikenal tax amnesty jilid II mulai tahun depan sesuai amanat UU HPP.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
29/10/2021, 15.56 WIB

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan beleid baru perpajakan, yakni Undang-Undang Harmonisasi Peraturan perpajakan (UU HPP) pada awal bulan ini. Meski telah disepakati pemerintah dan DPR, tidak semua masyarakat setuju atas poin-poin perubahan dalam aturan tersebut, terutama soal rencana program pengungkapan sukarela (PPS) yang lumrah dikenal tax amnesty jilid II.

Berdasarkan riset yang dibuat oleh Continuum Data Indonesia melalui analisis cuitan masyarakat di media sosial Twitter, 62,9% masyarakat menyambut positif kehadiran UU baru ini. Temuan ini berasal dari hasil analisis terhadap 8.523 cuitan mengenai UU HPP sepanjang 4 Oktober-21 Oktober 2021, atau dimulai sebelum aturan ini disahkan.

Adapun dari temuan tersebut terdapat lima topik utama yang paling banyak dibahas, yakni perubahan pada Pajak Penghasilan (PPh) sebanyak 1.377 cuitan, perubahan NIK menjadi NPWP sebanyak 851 cuitan, Tax Amnesty jilid II sebanyak 697 cuitan, perubahan Pajak pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 541 dan pajak karbon 277.

Dari hasil analisis tersebut ditemukan bahwa 97% pembicaraan mengenai tax amensty berisi sentimen negatif. Ini menjadi satu-satunya topik yang ditolak dari lima topik utama tersebut.

"Mereka menolak karena menganggap aturan pajak baru tersebut menguntungkan orang kaya, dimana terdapat ketentuan yang menghilangkan pidana bagi pengemplang pajak dan pengurangan denda bagi penunggak pajak," kata Analis Data Continuum Data Indonesia Natasha Yulian dalam webinar Analisis Big Data: Defisit Melejit, UU HPP Terbit yang digelar INDEF, Jumat (29/10).

Adapun untuk topik-topik lainnya memperoleh respon positif. Pertama, pembicaraan terkait perubahan PPh yang mendapat 89,94% respon positif. Natasha mengatakan, respons positif diberikan terutama karena adanya peningkatan bracket pertama untuk PPh orang pribadi dan pembebasan PPh terhadap UMKM yang beromzet sampai Rp 500 juta sehingga dinilai menguntungkan masyarakat kecil.

"Ketentuan perpajakan dinilai lebih adil dengan adanya bracket baru yakni tarif 35% untuk PPh orang pribadi berpenghasilan di atas Rp 5 miliar," kata dia. 

Kedua, pembicaraan terkait perubahan NIK menjadi NPWP yang mendapat 82,61% respons positif. Mayoritas menyatakan dukungan karena skema ini dinilai dapat membantu reformasi perpajakan dan mengoptimalkan digitalisasi data di Indonesia.

"Sisanya sekitar 17% beranggapa negatif karena menganggap bahwa setiap yang memiliki KTP maka otomatis terdaftar untuk NPWP. Ini mungkin disebabkan kurangnya infromasi sebagian masyarakat sehingga terjadi kesalahan persepsi dan menimbulkan sentimen negatif," kata Natasha.

Ketiga,  pembicaraan mengenai PPN yang mendapatkan 86% respon positif, terutama berkat adanya pembebasan sejumlah barang dan jasa. Namun, masih adanya yang merespons negatif terutama karena kenaikan tarif menjadi 11% mulai tahun depan dan 12% paling lambat pada tahun 2025 dinilai dapat berefek buruk ke ekonomi.

Keempat, pembicaraan mengenai pajak karbon menjadi yang paling banyak mendapat respon positif. Sekitar 90% masyarakat  yang mengangkat pembicaraan topik ini berisi dukungan. Kebijakan ini dinilai menunjukkan komitmen pemerintah terkait masalah perubahan iklim.

Natasha menjelaskan, riset yang dibuat bersama rekan-rekannya itu dilakukan melalui sistem yang sudah mereka persiapkan. Dengan demikian 8.523 cuitan yang dianalis murni opini publik.

"Data-data tersebut coba kami olah dengan sistem yang kami punya untuk menghapus pendapat-pendapat yang berasal dari media dan buzzer," kata Natasha.

Adapun secara spasial perbincangan terjadi di seluruh wilayah Indonesia, meski begitu 70% masih berasal dari masyarakat di pulau Jawa.

Reporter: Abdul Azis Said