Bank Sentral Australia Perketat Moneter Akibat Inflasi Tinggi

ANTARA FOTO/REUTERS/Loren Elliott/WSJ/djo
Bank Sentral Australia telah melakukan sejumlah langkah moneter untuk menyalamatkan ekonomi. Hal ini dilakukan bukan hanya melalui suku bunga rendah, tetapi juga pembelian surat utang pemerintah.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
2/11/2021, 17.27 WIB

Tekanan inflasi memaksa sejumlah bank sentral negara maju untuk mulai meninggalkan kebijakan moneter longgar. Bank sentral Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) memutuskan untuk mengurangi salah satu stimulus moneternya pada pekan ini setelah angka inflasi mulai mendekati target.

RBA melakukan sejumlah langkah moneter untuk menyalamatkan ekonomi. Hal ini dilakukan bukan hanya melalui suku bunga rendah, tetapi juga pembelian surat utang pemerintah. Salah satu stimulus moneter utamanya kemudian dikenal sebagai 'kontrol kurva yield' atau YCC.

Melalui skema YCC, bank sentral memborong miliaran dolar obligasi pemerintah dengan tenor pendek tiga tahun yang jatuh tempo pada April 2024. Langkah ini untuk mendorong agar yield tetap rendah di kisaran 0,1%. Kendati demikian, kebijakan tersebut mulai ditinggalkan seiring tekanan inflasi di negeri kanguru itu.

"Keputusan untuk menghentikan target yield mencerminkan perbaikan ekonomi dan kemajuan yang lebih awal dari yang diharapkan menuju target inflasi," kata Gubernur RBA Philip Lowe seperti dikutip dari Financial Times, Selasa (2/11).

Pergeseran tersebut menjadikan RBA sebagai bank sentral pertama negara maju yang memperketat kebijakan moneter setelah pandemi. Ini juga dapat menjadi faktor eksternal yang berpotensi mendorong negara maju lainnya, terutama Inggris turut mempercepat excit policy. Pejabat Bank of England (BoE) dijadwalkan menggelar rapat pada Kamis pekan ini dan pasar mengantisipasi pengumuman kenaikan bunga acuan.

RBA sebelumnya memberlakukan tingkat bunga acuan dan skema YCC 0,25%, kemudian keduanya dipangkas menjadi 0,1% mulai November tahun lalu. Mereka mengadopsi kebijakan moneter serupa yang lebih dulu dilakukan oleh bank sentral Jepang (BoJ).

Keputusan RBA ini juga kemungkinan akan memengaruhi BoJ apakah masih akan tetap mempertahankan stimulusnya atau melakukan hal yang sama dengan Australia.

Selain Australia, pasar juga mengantisipasi bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang akan mengumumkan rencana tapering off pekan ini. Berdasarkan notulen rapat pembuat kebijakan The Fed September lalu, bank sentral berencana memulai pengurangan pembelian asetnya paling cepat pertengahan bulan ini atau bulan depan. Sehingga keputusannya akan diumumkan dalam rapat beberapa hari lagi.

Sekalipun sudah mengurangi kontrol terhadap yield, RBA tidak terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga inflasi berkelanjutan di dalam targetnya 2-3%. Bunga acuan dipertahankan pada rekor rendah 0,1% dalam 12 bulan terakhir. Selain itu, ia juga akan menunggu perbaikan di sektor tenaga kerja.

Lowe juga berjanji untuk terus menginjeksi perekonomian lewat pembelian obligasi pemerintah senilai US$ 3 miliar setiap minggunya. Kebijakan itu akan dipertahankan hingga pertengahan Februari mendatang.

Indeks harga konsumen (IHK) Australia pada kuarta III 2021 terpantau inflasi 0,8% secara kuartalan dan 3% secara tahunan. Sementara komponen inti juga inflasi 0,7% secara kuartalan, kenaikan tertingginya dalam enam tahun terakhir. Secara umum inflasi dipengaruh kenaikan harga bahan bakar dan hunian.

Sekalipun inflasi masih akan terus memanas dalam jangka pendek, para pejabat RBA enggan menaikkan suku bunga karena ekonomi belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Mereka mengkhawatirkan gejolak tahun 2010 kembali terulang, yakni terjadi tekanan deflasi ketika bunga acuan terlanjur diturunkan dan menyebabkan suku bunga 0% di banyak negara.

Reporter: Abdul Azis Said