Surplus Neraca Dagang RI Diprediksi Menurun pada Oktober

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.
Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Lavinda
15/11/2021, 08.31 WIB

Surplus neraca dagang Oktober diperkirakan akan kembali menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan terutama karena kinerja ekspor yang lesu seiring inflasi di Cina, sedangkan impor naik sejalan membaiknya perekonomian domestik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan surplus neraca dagang Oktober akan menyusut menjadi US$ 3,9 miliar - US$ 4 miliar. Penurunan kinerja ekspor seiring memburuknya perekonomian negara tujuan ekspor utama RI, Cina. Di sisi lain impor juga naik seiring membaiknya perekonomian domestik.

"Paling dikhawatirkan soal inflasi di China yang terlalu tinggi akan membuat permintaan produk industri berkurang, terutama produk industri yang bahan bakunya dari indonesia," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Minggu (15/11).

Bhima mengatakan penurunan kinerja ekspor terutama pada pengiriman komoditas non-migas. Penurunan nilai ekspor non-migas terutama pada ekspor batu bara seiring harganya yang terkoreksi 37% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan harga juga pada alumunium 12% dan minyak kelapa sawit 1,7% secara bulanan.

Di sisi lain, ia juga melihat hambatan di sisi rantai pasok turut memperburuk kinerja ekspor. Disrupsi ini terutama adanya masalah kelangkaan kontainer dan pekerja di pelabuhan internasional yang belum teratasi optimal.

"Ini menjadi pelajaran penting bahwa supercycle commodity tidak dibarengi oleh kesiapan logistik. Indonesia tidak bisa terus bergantung pada ekspor komoditas mentah dan olahan primer," kata Bhima.

Impor juga diramal naik seiring pemulihan ekonomi domestik dan menjelang musim belanja pada perayaan Hari Natal dan Tahun Baru (Nataru). Konsumsi diperkirakan akan melesat juga didorong pelonggaran PPKM hampir di seluruh wilayah.

Meski begitu, Bhima memperingatkan adanya inflasi di Cina dapat menimbulkan masalah baru yakni imported inflation. Kenaikan harga-harga di Cina mendorong impor bahan baku dan barang modal dari Cina menjadi lebih mahal.

"Ada transmisi ke indonesia meskipun secara histori imported inflation terjadi juga disebabkan depresiasi nilai tukar rupiah diatas 5%," kata Bhima.

Senada dengan Bhima, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memperkirakan surplus neraca dagang akan lebih kecil pada Oktober menjadi US$ 3,87 miliar. Kinerja ekspor lesuh seiring peningkatan impor.

Josua memperkirakan ekspor akan terkontraksi tipis 0,6% secara bulanan, setara dengan pertumbuhan tahunan sebesar 42,59%. Penurunan terutama pada ekspor batu bara yang secara volume diperkirakan anjlok 18,2% secara bulanan.

"Kontraksi nilai ekspor secara bulanan diperkirakan akibat penurunan volume permintaan dari Tiongkok," kata Josua kepada Katadata.co.id.

Dari sisi impor, Josua memperkirakan nilai impor Oktober diperkirakan akan tumbuh 2,3% secara bulanan atau setara 53,98% seacara tahunan.

Kenaikan impor bulan lalu berkaitan dengan kenaikan impor migas sejalan dengan kenaikan harga minyak global sebesar 12,74% secara bulanan. Josua mengatakan kenaikan harga minyak juga diikuti oleh kenaikan mobilitas masyarakat Indonesia sehingga mendorong kenaikan volume permintaan minyak.

Selain itu, kenaikan juga pada impor non-migas seiring membaiknya perekonomian domestik. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur bulan lalu yang melompat ke level 57,2 poin dari bulan sebelumnya 52,2 poin.

"Kenaikan aktivitas manufaktur, yang tergambar dari PMI Manufaktur tersebut menjadi indikasi kenaikan permintaan bahan baku, terutama bahan baku impor," kata Josua.

Jika kinerja surplus neraca dagang bulan Oktober lebih rendah dari bulan sebelumnya, ini menjadi penurunan dua bulan beruntun sejak mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah yakni US$ 4,47 miliar pada Agustus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca dagangan September turun menjadi US$ 4,37 miliar.

Ekspor pada September turun 3,84% secara bulanan tetapi masih tumbuh 47,64% secara tahunan menjadi US$ 20,6 miliar. Ekspor nonmigas bulan lalu turun 12,56% dibandingkan Agustus, tetapi naik 48,03% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor migas turun 3,83% dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi naik 39,79% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi pada kinerja impor. Kinerja impor September terkontraksi 2,67% secara bulanan tetapi masih tumbuh 40,31% dalam setahun menjadi US$ 16,23 miliar. Impor migas turun 8,98% secara bulanan tetapi masih melesat 59,19% secara tahunan. Sedangkan impor non-migas turun 1,8% secara bulanan tetapi naik 38,18% secara tahunan

Reporter: Abdul Azis Said