Badan Pusat Statistik mencatat, kinerja ekspor pada bulan lalu yang mencapai US$ 22,03 miliar merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, tumbuh 6,89% dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan ekspor pada bulan lalu terutama ditopang oleh ekspor nonmigas tujuan Cina yang naik 31% atau US$ 1,38 miliar.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, ekspor nonmigas bulan lalu ke Cina mecapai US$ 5,93 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya US$ 4,54 miliar. Dengan capain itu, Cina masih menempati urutan pertama sebagai negara tujuan ekspor Indonesia dengan pangsa 28,22% dari total ekspor bulan lalu.
"Ekspor bulan Oktober kita yang peningkatannya terbesar itu ke Cina sebesar US$ 1,38 miliar. Komoditas utamanya yang meningkat adalah bahan bakar mineral, serta besi dan baja," kata Margo dalam konferensi pers virtual, Senin (15/11).
Selain ekspor, impor nonmigas Indonesia dari Cina juga naik US$ 166,3 juta. Kenaikan terutama terjadi pada impor kendaraan dan bagiannya, besi dan baja, serta bahan bakar mineral.
Dengan kenaikan tersebut, maka nilai impor non-migas dari Cina pada Oktober 2021 sebesar US$ 4,6 miliar. Cina mempertahankan posisinya sebagai negara eksportir utama RI dengan pangsa 31,98% dari total impor bulan lalu.
Berdasarkan data ekspor-impor tersebut, Indonesia berhasil mencatatkan surplus neraca dagang dengan Cina mencapai US$ 1,3 miliar. Surplus neraca perdagangan ini merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang mencapai US$ 1,7 milar.
Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan pada bulan lalu mencapai US$ 5,73 miliar. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah setelah capain sebelumnya pada Agustus sebesar US$ 4,7 miliar.
Kenaikan ekspor Indonesia ke Cina terjadi di tengah kekhawatiran melambatnya perekonomian negara tembok raksasa ini akibat inflasi yang meroket. Para ekonom sebelumnya meramalkan surplus neraca dagang akan menyusut seiring lesuhnya ekspor dan meningkatnya impor. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan surplus di kisaran US$ 3,9 miliar- US$ 4 miliar saja, lebih rendah dari bulan sebelumnya US$ 4,37 miliar.
"Paling dikhawatirkan soal inflasi di China yang terlalu tinggi akan membuat permintaan produk industri berkurang, terutama produk industri yang bahan bakunya dari indonesia," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id, Minggu (15/11).
Sementara dari sisi impor, inflasi yang tinggi dikhawatirkan menimbulkan pembengkakan nilai impor dari Cina seiring kenaikan harga-harga. Hal ini dapat memicu imported inflation sebagai efek limpahan dari inflasi yang memanas di Cina.
Seperti diketahui, Indeks Harga Konsumen di Cina mencatat inflasi 1,5% secara tahunan, lebih tinggi dari 0,7% bulan sebelumnya. Laju inflasi bulan lalu tercatat sebagai yang tercepat sejak September tahun lalu
Meski inflasi konsumen cenderung masih rendah, pasar khawatir dengan inflasi di tingkat produsen yang meroket. Indeks Harga Produsen Cina mencata inflasi 13,5% pada Oktober. Ini naik dari 10,7% pada bulan sebelumnya, sekaligus tertinggi dalam 26 tahun terakhir. Indeks harga produsen ini menggambarkan harga-harga saat di pabrik.