Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan dapat menarik utang sebesar Rp 973,6 triliun sesuai rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan. Adapun mayoritas dari pembiayaan utang berdenominasi rupiah tersebut akan bersumber dari dalam negeri.
"Dari defisit Rp 868 triliun tahun depan, ditambah dengan beberapa hal, seperti pembiayaan investasi, utang jatuh tempo. Maka ini akan dibiayai dengan sumber pembiayaan dari domestik dengan kisaran 80%-82%," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Riko Amir dalam diskusi virtual, Senin (13/12).
Dengan komposisi tersebut, maka penarikan utang melalui valuta asing (Valas) tahun depan hanya sekitar 18%-20% dari total pembiayaan utang. Pembiayan ini meliputi penerbitan SBN valas, serta penarikan pinjaman luar negeri.
Jika dibedakan dari instrumen utangnya, mayoritas pembiayaan utang tahun depan akan bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Ini termasuk SBN domestik, SBN valas serta Surat Perbendaharaan Negara/Syariah atau SPN/S 2022.
Dari rencana penerbitan SBN tersebut, Riko mengatakan, secara bruto sekitar 69%-72% berupa Surat Utang Negara (SUN), dan 28%-31% berupa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk.
"Penerbitan SBN bruto dapat dilakukan melalui lelang dan non-lelang. Melalui lelang yaitu di pasar perdana dan non lelang dengan adanya SBN ritel, private placement dan pelaksanaan SKB III dengan BI," kata Riko.
Riko menjelaskan, untuk penerbitan SBN melalui lelang pada tahun depan akan digelar sebanyak 24 kali untuk masing-masing SUN dan sukuk. Adapun untuk ketentuan tenor, size dan waktunya akan fleksibel. Selain itu, pemerintah juga masih punya kesepakatan pembelian oleh BI melalui SKB I dan SKB III.
Pemerintah juga akan menerbitkan tujuh seri SBN ritel pada tahun depan, terdiri atas enam kali penerbitan SBN ritel dan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) ritel atau sukuk wakaf ritel satu kali. Adapun dari penerbitan SBN ritel tersebut terdiri atas seri ORI dua kali, SR dua kali, serta SBR dan ST009 masing-masing sekali.
"Untuk tahun 2022 rencana penerbitan SBN ritel kurang lebih sama dengan tahun 2021, namun kami tingkatkan targetnya kurang lebih target awalnya Rp 100 triliun. Nilai itu tetap fleksibel, sehingga plus minus kita lihat dari kondisi market dan respons dari investor," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman dalam acara yang sama dengan Riko.
Sementara itu, dari sisi pinjaman, penarikan utang juga dilakukan secara fleksibel dengan memperhatikan kapasitas lender. Selain itu penarikan pinjaman akan dilakukan dalam jumlah besar di awal tahun, hal ini karena adanya pinjaman yang digeser dari seharusnya ditarik awal tahun 2021 dipindahkan ke tahun depan.
Pembiayaan utang tahun depan menyesuaikan dengan target defisit APBN 2022 sebesar 4,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 868 triliun. Pendapatan Negara ditargetkan Rp 1.846,1 triliun, sedangkan belanja negara Rp 2.714,2 triliun.
Pembiayaan utang ini bukan hanya dipakai untuk menutupi defisit APBN, melainkan membiayai sejumlah kebutuhan lain. Ini antara lain untuk membayar cicilan utang yang lebih dari Rp 84 triliun, pembiayaan investasi sebesar Rp 182,3 triliun serta pembayaran kewajiban penjaminan Rp 1,1 triliun.