Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, porsi kepemilikan asing dalam surat berharga negara yang dapat diperdagangkan turun dari posisi akhir tahun lalu Rp 973,9 triliun menjadi Rp 894,99 triliun per 22 Desember 2021. Porsi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah ini juga turun dari 25,16% menjadi 19,97%.
DJPPR mencatat, total surat berharga negara yang diperdagangkan hingga pekan lalu mencapai Rp 4.522,98 triliun, naik 16,8% dibandingkan posisi akhir tahun lalu Rp 3.870,76 triliun. Total surat utang pemerintah ini bahkan naik hampir dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi yang mencapai Rp 2.752,74 triliun.
Penurunan porsi kepemilikan pada surat utang negara juga dicatatkan oleh perusahaan manajer investasi yang mengelola reksa dana. Jumlahnya turun dari Rp 161,32 triliun menjadi Rp 155,77 triliun, demikian pula dengan porsi kepemilikannya dari 4,17% menjadi 3,44%,
Sementara itu, kenaikan kepemilikan SBN terjadi pada Bank Indonesia dari Rp 454,3 triliun menjadi Rp 640,94 triliun. Porsinya juga naik dari 11,74% menjadi 14,17% dari total SBN yang diperdagangkan.
Kepemilikan SBN oleh perbankan secara nominal juga meningkat dari Rp 1.375,57 triliun menjadi Rp 1.597,04 triliun. Namun porsinya turun dari 35,54% menjadi 35,31% dari total SBN.
DJPPR juga mencatat kepemilikan SBN oleh perusahaan Asuransi dan dana pensiun naik dari Rp 542,82 triliun menjadi Rp 650,29 triliun. Porsi kepemilikannya ikut naik dari 14,02% menjadi 14,38%.
Kepala Ekonom David Sumual mengatakan, modal asing banyak keluar dari instrumen surat berharga negara selama pandemi Covid-19. Belum ada potensi mengalir derasnya dana asing ke surat utang pemerintah. Selain itu, pemerintah juga kini memiliki alternatif pembiayaan dari Bank Indonesia.
Pemerintah melanjutkan kerja sama dengan bank sentral melalui SKB III untuk membiayai pandemi hingga tahun depan. Melalui kerja sama ini, BI akan memborong surat utang pemerintah senilai Rp 215 triliun khusus untuk tahun 2021 dan Rp 224 triliun pada tahun depan.
Pembelian SBN dan burden sharing dengan BI yang akan berlanjut hingga Desember 2013 dilakukan dalam dua klaster. Klaster pertama, BI akan ikut menanggung beban pemerintah dengan menanggung seluruh suku bunga atas pembelian SBN. Pada klaster ini, pembelian SBN Rp 58 triliun pada APBN 2021 dan Rp 40 triliun pada APBN 2022.
Sementara pada klaster kedua, tingkat suku bunga akan ditanggung oleh pemerintah. Jumlah pembelian yang dilakukan yakni Rp 157 triliun di APBN 2021 dan Rp 184 triliun di APBN 2022.
BI akan membeli SBN dengan tingkat suku bunga rendah dari bunga pasar, yakni reverse repo BI tenor 3 bulan. Adapun SBN yang diterbitkan untuk dibeli BI akan bertenor panjang, yakni 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun dan 8 tahun.
David menilai porsi kepemilikan asing pada SBN yang saat ini berada di bawah 20% akan berdampak positif pada pergerakan rupiah. Rupiah akan lebih tahan banting dalam menghadapi gejolak eksternal seperti sentimen tapering off dan rencana kenaikan suku bunga AS.
"Gejolak pada rupiah pada periode tapering off ini tidak akan sama seperti taper tantrum 2013. Saat ini, cadangan devisa kita juga cukup kuat," kata dia.
BI mencatat cadangan devisa per November mencapai US$ 145,9 miliar, jauh berada di atas posisi cadangan devisa satu windu silam yang berada di bawah US$ 100 miliar.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah per akhir November 2021 mencapai Rp 6.713,24 triliun. Angka ini naik 0,38% dibandingkan bulan sebelumnya atu 13,68% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara rasio utang tercatat 39,84% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).