Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar rupiah cukup kuat merespons berbagai dinamika global yang terjadi belakangan ini, terutama dari perang Rusia dan Ukraina. Meski melemah pada tahun ini, rupiah lebih perkasa menghadapi dolar AS dibandingkan beberapa mata uang Asia lainnya.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, rupiah terdepresiasi 0,42% sejak akhir tahun lalu hingga 16 Maret 2022. Meski demikian, pelemahan ini lebih rendah dibandingkan ringgit Malaysia yang terkoreksi 0,76%, rupee India 2,53%, dan peso Filipina 2,56% dalam periode yang sama.
"Ini menunjukan bahwa perkembangan nilai tukar lebih dipengaruhi faktor-faktor fundamental ekonomi Indonesia dibandingkan faktor-faktor teknikal ketidakpastian pasar keuangan global, termasuk eskalasi ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina," kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Maret, Kamis (17/3).
Dia mengatakan, perang di dua negara bekas Uni Soviet tersebut telah mendorong kenaikan pada US Treasury serta mempengaruhi persepsi risiko. Meski begitu, kemampuan rupiah untuk tidak jatuh terlalu dalam tampaknya juga tidak lepas dari kondisi dolar AS yang dinilai sudah tidak sekuat sebelumnya. Hal ini karena kondisi domestik Amerika yang saat ini sedang berjuang memerangi inflasi serta berbagai respon yang diambil The Fed.
Perry mengatakan ketegangan geopolitik bukan satu-satunya sentimen yang menggerakan rupiah, melainkan juga dipengaruhi kondisi fundamental ekonomi domestik. Ia menyebut banyak faktor positif dari dalam negeri yang membuat rupiah bahkan cenderung terapresiasi.
Faktor fundamental yang memberi sentimen penguatan tersebut diantaranya surplus neraca dagang yang berlanjut, suplai valas yang masih cukup besar, berkembangnya Domestik Non-Delivery Forward (DNDF) sebagai alat lindung nilai, serta langkah-langkah bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar.
Perry juga menyebut dampak dari perang Rusia dan Ukraina dapat dilihat dari dua jalur, yakni langsung dan tidak langsung. Ia menyebut, dampak langsung dinilai tidak begitu signifikan karena hubungan perdagangan Indonesia terhadap dua negara tersebut sebetulnya terbatas.
"Tapi kita juga melihat implikasi secara tidak langsung karena menurunya pertumbuhan ekonomi global dan meningkatnya harga komoditas. Kenaikan harga ini tentu akan berpengaruh ke kondisi fiskal dan harga-harga di dalam negeri," kata Perry.
Namun, Perry menilai dampak tidak langsung ini juga masih bergantung pada kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam menyikapi lonjakan harga tersebut. BI berkomitmen untuk terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk melihat langkah apa yang harus dilakukan terkait tantangan ini.
Seperti halnya Perry, Menteri Keuangan Sri Mulyani secara terpisah mengatakan sekalipun berpotensi ikut terdampak perang, namun ekonomi RI dinilai cukup kuat merespon ketidakpastian yang sudah terlihat sejak beberapa pekan terakhir.
"Dalam konteks perekonomian Indonesia, baik neraca pembayaran maupun komposisi ekonomi, saya kira kita relatif tangguh dari konflik ini," kata Sri Mulyani dalam diskusi Fitch on Indonesia - Exit Strategy after the pandemic, Rabu (16/3).
Ia membeberkan data bahwa Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG selama periode 25 Februari-11 Maret 2022, atau sejak dimulainya perang, bergerak positif dengan penguatan 0,5 % dan secara tahun kalender menguat 5,2 % (ytd).
Pada periode yang sama, rupiah juga menguat 0,4% terhadap dolar AS. Sementara sejumlah mata uang negara tetangga melemah selama periode perang, kecuali ringgit Malaysia yang masih bisa menguat 0,2 %. Bath Thailand anjlok 2,5 % bersama dolar Singapura 0,7 %, peso Filipina 1,8 %.