Pajak Karbon Ditunda hingga 1 Juli, Ini Sederet Aturan yang Disiapkan

123RF
Ilustrasi. Pada tahap awal, pemerintah akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).
Penulis: Agustiyanti
1/4/2022, 20.26 WIB

Pemerintah menunda penerapan pajak karbon dari seharusnya berlaku pada hari ini (1/4) menjadi 1 Juli 2022. Penundaan dilakukan lantaran pemerintah masih menyusun sejumlah aturan teknis pelaksanaan pajak karbon

“Kesiapan ini penting agar tujuan dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal. Pemerintah memutuskan penerapan pajak karbon pada 1 Juli 2022,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam siaran pers, Jumat (1/04).

Pemerintah akan terus berkonsultasi dengan DPR dalam penyiapan implementasi pajak karbon.  Aturan teknis pelaksanaan pajak karbon yang tengan disusun Kementerian Keuangan, antara lain tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara, aturan teknis lainnya seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut dia, pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021 agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal. Ini antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

“Isu iklim merupakan isu lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan yang melengkapi satu sama lain,” kata Febrio.

Ia mengatakan, pengaturan terkait pajak karbon sebelumnya telah diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN, tetapi juga instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ini sesuai prinsip pencemar membayar  atau polluter pays principle.

“Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” kata Febrio

Di sisi lain, menurut dia, pemerintah akan memperhatikan peta jalan pasar karbon dalam menyusun peta jalan atau roadmap pajak karbon. Peta jalan pajak karbon, di antaranya akan memuat strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.

“Dalam implementasinya, pemerintah akan memperhatikan transisi yang tepat agar penerapan pajak karbon ini tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi,” ujar Febrio.  

Ia menjelaskan, pengenaan pajak karbon akan dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan dan terjangkau, serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.

Pada tahap awal, pemerintah akan mengenakan pajak karbon kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e). Tarif ini lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.