Realisasi belanja negara untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG), hingga April lalu mencapai Rp 34,8 triliun. Jumlah ini lebih tinggi 50 persen jika dibandingkan periode sama pada 2021, yang mencapai Rp 23,3 triliun.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Edy Priyono, mengatakan kenaikan subsidi BBM dan LPG merupakan dampak dari kenaikan harga migas di pasar global. “Kita masih banyak mengimpor migas, sehingga ketika harga beli naik dan kita ingin mempertahankan harga, subsidi harus naik,” ujar Edy dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Rabu (25/5).
Edy menjelaskan alasan pemerintah tetap mempertahankan subsidi BBM, khususnya jenis Pertalite dan LPG tiga kilogram. Menurutnya kebijakan ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga-harga komoditas, imbas dari ketidakpastian global.
Pemerintah, kata dia, sebenarnya bisa saja mencabut subsidi dan melepas BBM jenis Pertalite serta LPG tiga kilogram dengan harga keekonomian demi menjaga stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, pemerintah justru menambah anggaran belanja untuk subsidi energi.
Meski pemerintah juga menyadari bahwa subsidi energi, khususnya LPG, banyak dinikmati kalangan menengah-atas sehingga kurang tepat sasaran.
Untuk itu, pemerintah sedang mempertimbangkan melakukan transformasi skema subsidi, dari subsidi terhadap barang menjadi subsidi terhadap orang atau sistem tertutup.
“Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang menikmati,” tegas Edy.
“Dengan skema subsidi terbuka seperti saat ini, dikhawatirkan volumenya bisa menjadi tidak terbatas, karena masyarakat yang harusnya tidak masuk kategori penerima subsidi karena tidak miskin atau rentan miskin, justru ikut menikmatinya,” lanjutnya.
Edy mengungkapkan, implementasi trasnformasi skema subsidi energi akan disesuaikan dengan waktu, terutama melihat kondisi perekonomian terkini. Pemerintah juga masih menunggu kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). “Ini untuk menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi dan tidak mengganggu daya belinya,” pungkas Edy.
Seperti diketahui, DPR RI telah menyetujui penambahan alokasi dan kompensasi untuk subsidi energi pada 2022. Rinciannya, Rp 71,8 triliun untuk subsidi BBM dan LPG, serta Rp 3,1 triliun untuk subsidi listrik.
Sebelumnya Kementerian Keuangan telah memperkirakan bahwa belanja negara tahun ini akan membengkak Rp 392,3 triliun, seiring bertambahnya anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan, belanja negara tahun ini akan mencapai Rp 3.106,4 triliun atau tumbuh 11,5% dari tahun lalu. Peningkatan pada belanja ini terutama pada belanja pemerintah pusat sebesar Rp 357,1 triliun. Belanja melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga akan naik sebesar Rp 35,2 triliun.
Kenaikan pada belanja pemerintah pusat karena adanya belanja untuk subsidi dan kompensasi energi yang mencapai Rp 349,9 triliun. Pemerintah juga mempertebal anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp 19,86 truliun, menambah alokasi untuk anggaran pendidikan Rp 23,9 triliun, serta melakukan alokasi belanja BUN ke K/L sebesar Rp 3 triliun.