Dampak dari pandemi Covid-19 dan perang yang sedang berlangsung di Ukraina telah menyebabkan kemerosotan ekonomi yang signifikan pada tahun 2022. Harga beberapa komoditas umum mencapai tingkat rekor, pertumbuhan ekonomi melambat dan inflasi meningkat.
Kondisi-kondisi tersebut membuat Presiden Bank Dunia David Malpass menarik kesimpulan pada Juni lalu bahwa resesi ekonomi sulit dihindari oleh banyak negara. Sejak krisis keuangan 2007-2009 yang merupakan kemerosotan terbesar setelah Depresi Hebat tahun 1929, tidak ada peristiwa ekonomi global sebesar ini.
Namun, apa sebenarnya resesi dan pertanda resesi sedang terjadi?
Tidak ada definisi resmi dari kesesi ekonomi.
Pada 1974, Ekonom Amerika Serikat Julius Siskin mendeskripsikan resesi ekonomi sebagai penurunan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Banyak negara yang kemudian menggunakannya untuk mendefinisikan resesi.
Lembaga tersebut mendefinisikan peristiwa tersebut sebagai penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh aspek perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam produksi, lapangan kerja, pendapatan riil, dan indikator lainnya. Resesi dimulai ketika ekonomi mencapai puncak aktivitas dan berakhir ketika ekonomi mencapai titik terendahnya
Seperti halnya definisi resesi yang berlaku pada sebuah negara, konsensus tentan definisi resesi global belum tercapai.
Ekonomi dunia telah mengalami empat kemerosotan besar dalam tujuh dekade terakhir, yakni pada 1975, 1982, 1991, dan 2009. Menurut IMF, resesi biasanya berlangsung selama sekitar satu tahun di negara maju. Data NEBR mendukung kriteria tersebut. Pada 1945 hingga 2009, rata-rata resesi ekonomi terjadi selama 11 bulan.
Tanda-tanda Resesi
Selain penurunan produk domestik bruto (PDB) yang berkepanjangan, salah satu ukuran resesi yang paling jelas adalah tingkat pengangguran. Kenaikan pengangguran dapat memicu efek domino dari konsekuensi ekonomi karena permintaan barang dan jasa melambat. Biro Statistik Tenaga Kerja mencatat angka pengangguran mencapai 9,5% selama resesi global terakhir.
Meskipun angka lapangan kerja baru saat ini masih tinggi di banyak ekonomi utama, indeks kepercayaan konsumen dan indikator utama lainnya menunjukkan angka yang rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti krisis biaya hidup yang menyebabkan berkurangnya pengeluaran, yang selanjutnya dapat menyebabkan ekonomi berkontraksi dan penerimaan pajak menurun.
Pasar saham juga cenderung berjuang selama resesi. Ketika kepercayaan konsumen dan pengeluaran menurun, perusahaan mungkin terpaksa memberhentikan pekerja. Ini dapat menyebabkan kinerja investasi yang buruk dan kepanikan di pasar. Dalam 12 resesi setelah Perang Dunia II, indeks saham AS, rata-rata terkontraksi 24% berdasarkan data Goldman Sachs.