Sri Mulyani Sebut Ekonomi AS Sudah Resesi, Ini Dampaknya ke Indonesia

ANTARA FOTO/POOL/Fikri Yusuf/rwa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani
29/7/2022, 11.21 WIB

Pertumbuhan ekonomi AS kembali terkontraksi 0,9% pada kuartal kedua tahun ini. Dengan demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ekonomi AS secara teknis sudah memasuki resesi, karena mengalami kontraksi dalam dua kuartal beruntun setelah pada kuartal pertama minus 1,6%.

Data terbaru AS tersebut keluar beberapa pekan setelah Cina juga merilis pertumbuhan ekonomi yang nyaris stagnan, yakni 0,4% pada kuartal kedua. Sri Mulyani menyebut kombinasi perlambatan di dua negara ekonomi terbesar dunia itu tentu akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia.

"AS, Cina, Eropa adalah negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi kalau mereka melemah, permintaan terhadap ekspor turun, harga komoditas juga turun," kata Sri Mulyani dalam acara Seremonial Dies Natalis VII PKN STAN, Jumat (29/7).

Harga komoditas yang tinggi jadi salah satu pendorong tingginya penerimaan negara. Kinerja moncer penerimaan ini membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus pada paruh pertama tahun ini. Namun, dengan situasi global yang masih dinamis, Sri Mulyani tidak ingin jemawa, sekalipun berhasil membawa APBN surplus dalam enam bulan beruntun.

"Dunia sedang tidak baik-baik saja," ujar Sri Mulyani. Pasalnya, inflasi di berbagai negara melonjak disertai dengan meningkatnya risiko krisis pangan dan energi akibat perang Rusia dan Ukraina.

"Anda bertanya apa hubungannya inflasi di Amerika, Eropa, Inggris dengan Indonesia? Banyak hubungannya," kata dia.

Sri Mulyani pun merunut asal muasal perlambatan ekonomi di sejumlah negara utama dunia. Ekonomi dunia menghadapi tekanan kenaikan inflasi setelah pandemi membaik. Permintaan menguat, tetapi tidak diikuti perbaikan dari sisi supply. Selain itu, perang di Ukraina memperparah gangguan supply yang pada dasarnya belum pulih, sehingga skala permintaan dan penawaran semakin tidak seimbang.

Akibatnya, inflasi melonjak sangat tinggi di berbagai negara. Di AS, inflasi Juni mencapai 9,1%, rekor tertinggi sejak 1981. Inggris juga mencatatkan rekor inflasi tertingginya dalam  empat dekade, dengan 9,4% pada Juni. 

Inflasi yang meningkat mengharuskan otoritas moneter memperketat kebijakannya. Banyak bank sentral dunia, terutama di negara maju, kini menarik bunga agresif seperti yang dilakukan The Fed. Hal ini membuat arus modal keluar dari negara berkembang seperti Indonesia.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyebut dalam kondisi suku bunga yang naik dan likuiditas cukup kencang, maka pelemahan ekonomi global pasti terjadi. Seperti yang terjadi di AS, tekanan inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga disertai dengan koreksi pertumbuhan ekonominya pada dua kuartal terakhir. 

Jika dilihat dari kondisi fundamental perekonomian, posisi Indonesia relatif cukup kuat. Laju inflasi masih cukup terjaga di 4,35% secara year on year hingga Juni 2022, jauh lebih rendah dibandingkan banyak negara lain yang inflasinya melambung hingga di atas 50%.

Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI)  juga masih bertahan di level 3,5% untuk mendukung pemulihan ekonomi dari dampak pandemi.

Secara teknis, banyak ekonom dunia meyakini bahwa kontraksi dua kuartal berturut-turut berarti resesi. Namun, Biro Riset Ekonomi Nasional, wasit resmi resesi di AS, mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan aktivitas ekonomi secara meluas di seluruh perekonomian, dan berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen juga menolak menyebut AS telah memasuki masa resesi, sekalipun sudah dua kuartal mengalami kontraksi. Pasalnya, sejumlah data lain menunjukkan masih adanya perbaikan.

"Itu bukan yang kita lihat sekarang. Ketika melihat perekonomian, penciptaan lapangan kerja berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, konsumen masih melakukan belanja dan bisnis tumbuh," kata Yellen tidak lama setelah rilis data pertumbuhan kuartal II, dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (28/7).

Reporter: Abdul Azis Said