Investor asing mulai kembali masuk ke pasar keuangan domestik pekan ini, dengan total beli neto oleh nonresiden mencapai Rp 4,6 triliun selama perdagangan 25-28 Juli. Kembalinya dana asing diikuti penguatan rupiah terutama menjelang penutupan pekan ini, dengan semakin menjauhi level Rp 15.000/US$.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono memberikan rincian, terdapat modal asing yang masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3,28 triliun. Selain itu, nonresiden beli neto di pasar saham sebesar Rp 1,32 triliun.
"Berdasarkan data settlement sampai dengan 28 Juli 2022, nonresiden jual neto Rp 138,95 triliun di pasar SBN, dan beli neto Rp 57,85 triliun di pasar saham," kata Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (29/7).
Persepsi risiko investasi yang tercermin dari premi credit default swap (CDS) Indonesia lima tahun turun ke level 123,66 bps per 28 Juli 2022, dari 135,54 bps per 22 Juli 2022. Imbal hasil alias yield SBN benchmark 10 tahun turun ke level 7,21% pada hari ini, menyusul penurunan yield US Treasury 10 tahun ke level 2,68% pada hari sebelumnya.
Kembalinya modal asing masuk ke pasar domestik juga diikuti penguatan nilai tukar. Rupiah parkir di level Rp 14.834 per dolar AS pada penutupan perdagangan sore ini. Kurs garuda menguat 180 poin atau 1,2% dalam sepekan.
Rupiah terus menguat sejak awal pekan meski sempat melemah pada hari Rabu (27) jelang pertemuan pembuat kebijakan bank sentral AS, The Fed, yang diperkirakan bakal kembali mengerek bunga agresif. Saat itu, rupiah turun ke level 14.990 per dolar, tetapi kemudian berbalik melemah ke Rp 15.010.
Namun, pelemahannya hanya sesaat. Rupiah selanjutnya menguat signifikan dan kemudian ditutup di level Rp 14.992 per dolar AS pada perdagangan kemarin. Analis Bank Mandiri, Reny Eka Putri, menyebut kenaikan bunga The Fed sebesar 75 bps yang diumumkan pada Kamis dini hari sudah diantisipasi dan sesuai ekspektasi pasar.
"Kenaikan bunga The Fed yang sudah priced in, disertai pernyataan The Fed yang mengindikasikan kenaikan suku bunga yang lebih moderat ke depan, serta pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang menilai AS belum akan mengalami resesi, menjadi sentimen yang direspon positif oleh pasar," kata Reny kepada Katadata.co.id.
The Fed tampaknya juga tidak akan menaikkan suku bunga seagresif dua bulan terakhir, ketika menaikan bunga 75 bps. Alasannya, karena The Fed melihat fundamental ekonomi AS membaik, terutama sektor ketenagakerjaan.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyebut kontraksi ekonomi AS di paruh kedua ini memperkuat ekspektasi pasar, bahwa bunga The Fed tidak akan lagi agresif di paruh kedua. Pasalnya, inflasi kemungkinan mulai mereda seiring perlambatan ekonomi AS.
"Karena PDB juga terkontraksi 0,9%, ini indikasinya inflasi kemungkinan akan turun sehingga membuat para spekulan menganggap bahwa 75 bps akan menjadi kenaikan tertinggi tahun ini, karena itu indeks dolar kembali melemah," kata Ibrahim kepada Katadata.co.id
Perekonomian AS kembali terkontraksi 0,9% pada tiga bulan kedua tahun ini. Ekonomi AS juga sempat terkontraksi 1,6% pada kuartal pertama. Kebanyakan ekonom melihat kontraksi dua kuartal beruntun berarti ekonomi AS telah mengalami resesi secara teknis. Namun, pemerintah AS menolak menyebutnya sebagai resesi. Sebagai gantinya, mereka menyebutnya sebagai perlambatan ekonomi signifikan.
Lebih lanjut, Ibrahim menyebut penguatan rupiah juga ditopang oleh fundamental ekonomi domestik yang terpantau masih cukup kuat saat banyak negara menghadapi risiko perlambatan. Sejumlah perkiraan menunjukkan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di kisaran 5% pada tahun ini.
Sementara, kenaikan kasus Covid-19 beberapa pekan terakhir dinilai belum banyak mempengaruhi rupiah. Alasannya karena pemerintah, menurut Ibrahim, tampaknya masih bisa mengelola pandemi dengan baik di tengah kenaikan kasus baru.