• The Federal Reserve kembali menaikkan suku bunga 75 bps pada pertemuan bulan ini. 
  • Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga di level terendah sepanjang sejarah 3,5%. 
  • Rupiah hari ini ditutup menguat di bawah Rp 15.000 per dolar AS.

Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve kembali mengambil langkah agresif, mengerek suku bunga acuannya sebesar 75 bps. The Fed telah menaikkan Fed Fund Rate sepanjang tahun ini sebesar 2,25 bps menjadi 2,25% hingga 2,75% saat suku bunga Bank Indonesia masih bertahan di level 3,5%. 

Lantas bagaimana dampaknya?

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mewanti-wanti dampak kenaikan suku bunga acuan The Fed yang dilakukan secara agresif. Setiap kenaikan suku bunga Amerika mampu menciptakan gejolak di pasar keuangan negara-negara emerging market, terutama Indonesia.

"Secara historis, setiap kali Amerika menaikkan suku bunga, apalagi secara sangat agresif biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA Juli, Rabu (28/7).

Hal ini sudah pernah terjadi dalam periode krisis sebelum-sebelumnya. Embargo minyak besar-besaran pada penghujung 1973 menyulut kenaikan inflasi. Walhasil The Fed perlu memperketat kebijakan moneter yang kemudian memicu resesi di Amerika. Sri Mulyani menyebut, kejadian serupa terulang dalam periode krisis tahun-tahun berikutnya.

Saat ini, inflasi AS kembali menanjak dan mencapai rekor tertingginya dalam empat dekade. The Fed sudah merespons dengan kenaikan suku bunga sejak Maret sebesar 25 bps. Namun karena tekanan  inflasi tidak kunjung reda, suku bunga dinaikkan lebih besar yaitu 50 bps pada pertemuan Mei. 

Agresivitas The Fed meningkat di dua pertemuan terakhir yakni Juni dan Juli dengan kenaikan bunga masing-masing 75 bps. Kenaikan 75 bps dalam dua pertemuan beruntun merupakan langkah yang belum pernah diambil The Fed sejak mereka menggunakan suku bunga dana overnight sebagai alat kebijakan moneternya pada awal 1990-an.

Sri Mulyani menyebut, sikap hawkish The Fed menjadi penyebab keluarnya dana asing dari pasar modal serta depresiasi rupiah dalam beberapa bulan terakhir. Sejak awal tahun hingga 21 Juli, modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik sudah mencapai Rp 82,5 triliun. Arus keluar dari pasar SBN secara neto Rp 138,6 triliun tetapi dikompensasi oleh arus masuk ke pasar saham Rp 56,01 triliun.

Arus keluar modal asing disebut menjadi penyebab melemahnya nilai tukar. Rupiah terdepresiasi lebih dari 5% sejak awal tahun, tetapi tidak sedalam negara lain seperti Afrika Selatan, Malaysia dan Filipina. Rupiah yang masih terjaga stabil ini ditopang neraca dagang yang masih berhasil surplus selama lebih dari dua tahun.

Beda Kondisi 

Kenaikan bunga The Fed yang memicu gejolak di pasar keuangan negara berkembang sebenarnya belum lama juga terjadi. Pada era Gubernur The Fed Ben Bernanke, langkah The Fed yang mengumumkan langkah penarikan stimulus secara tiba-tiba usai perekonomiannya membaik menciptakan gejolak pada kurs rupiah. Periode ini disebut dengan taper tantrum.

Taper tantrum sebenarnya adalah istilah yang digunakan media ekonomi untuk menggambarkan lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena pengumuman The Federal Reserve. Ben Bernanke yang memimpin The Fed pada Juni 2013, mengumumkan rencananya untuk mulai menarik stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi dari US$ 85 miliar menjadi US$ 75 miliar, berlaku mulai 2014.  

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS pada 2013. Nasib pasar saham pun tak jauh lebih baik. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya berada di level 5.200 jatuh ke level 4.200 di akhir 2013 dan bahkan sempat menyentuh titik terendahnya di bawah 4.000 pada Agustus.  Pemerintah mencatat, arus modal yang keluar dari Indonesia saat periode taper tantrum mencapai Rp 36 triliun. 

Kenaikan bunga The Fed saat ini sebenarnya lebih agresif dibandingkan periode taper tantrum. Meski kebijakan moneter ketat telah diumumkan Bernanke pada 2014, kenaikan Fed Fund Rate baru dimulai pada 2015 dan berlangsung hingga 2018. 

Banyak yang memperkirakan, kenaikan bunga The Fed saat ini akan berlangsung lebih cepat tetapi agresif. Meski demikian, Sri Mulyani mengatakan dampaknya terhadap harga SBN sebenarnya relatif lebih stabil. 

"Kami lihat dampak terhadap harga SBN kita masih relatif stabil karena kepemilikan asing sebelumnya sudah turun drastis," kata dia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, kepemilikan asing di SBN pada 19 Juli 2022 hanya mencapai 15,49%. Porsi kepemilikan asing telah turun lebih dari separuh dibandingkan sebelum pandemi atau akhir 2019 yang mencapai 38,57%. Sementara pada periode 2013, kepemilikan asing mencapai 32%, sedangkan pada 2014 mencapai 38%. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga telah menegaskan berkali-kali bahwa dampak pengetatan kebijakan moneter The Fed kali ini tak akan separah periode taper tantrum. Salah satu alasan Perry adalah kondisi ekonomi yang lebih stabil. Selain porsi kepemilikan asing yang lebih rendah, cadangan devisa Indonesia juga jauh lebih besar dibandingkan beberapa tahun silam. 

Cadangan devisa per Juni 2022 mencapai US$ 136,4 miliar, jauh di atas posisi akhir 2013 sebesar US$ 99 miliar maupun akhir 2014 US$ 111,9 miliar. 

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement