Meningkatnya ketegangan geopolitik di antara Cina dengan Taiwan, usai Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi mengunjungi Taipei, ternyata berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menilai Indonesia perlu mewaspadai kondisi ini karena dapat mempengaruhi arus perdagangan.
Berdasarkan catatan BPS, Cina maupun Taiwan merupakan negara mitra perdagangan yang memegang peranan penting dalam ekspor dan impor Indonesia.
"Tiongkok dan Taiwan juga penting dalam perdagangan internasional Indonesia," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Senin (15/8).
Setianto menyampaikan, Cina merupakan mitra dagang strategis Indonesia, dengan kontribusi terhadap ekspor maupun impor di atas 20% dari total ekspor dan impor RI.
Sedangkan Taiwan, merupakan eksportir integrated circuits terbesar pertama di dunia dan eksportir office machine parts terbesar keempat di dunia.
Simak berita selengkapnya di sini.
Pada saat beberapa pejabat negara mulai mewaspadai dampak ekonomi dari meningkatnya ketegangan Cina dan Taiwan. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, justru memiliki pandangan berbeda.
Menurutnya konflik di antara dua negara tujuan ekspor Indonesia tersebut, tidak akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Zulkifli mengatakan bahwa jalur perdagangan Indonesia ke Cina maupun Taiwan masih berjalan lancar. Oleh karena itu, Zulkifli belum menggodok langkah strategis dalam mengamankan jalur perdagangan dengan kedua negara tersebut.
"Sementara jalur perdagangan dengan Cina dan Taiwan enggak ada soal, enggak ada masalah, enggak ada yang terganggu," kata Zulkifli di Gedung Sarinah, Senin (15/8).
Simak penjelasan lengkap Menteri Perdagangan di sini.
Sementara itu, terkait dengan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) pada akhir kuartal kedua sebesar US$ 403 miliar, turun US$ 9,6 miliar atau Rp 142,8 triliun dibandingkan kuartal sebelumnya (kurs 30 Juni 14.882/US$).
Penurunan terutama berasal dari Cina, Singapura, dan Jepang, serta utang organisasi internasional. Adapun utang dari Amerika Serikat naik.
Utang dari Cina, Singapura dan Jepang masing-masing kompak berkurang US$ 1,4 miliar dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan juga yang berasal dari kreditur organisasi internasional US$ 1,5 miliar dan pinjaman dari kreditur lainnya US$ 5,1 miliar. Adapun, utang dari Amerika Serikat naik US$ 2,9 miliar dibandingkan kuartal sebelumnya.
"Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan posisi ULN sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral, serta penurunan pada ULN sektor swasta," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resminya, Senin (15/8).
ULN Indonesia terdiri atas utang yang dipegang pemerintah, Bank Indonesia, dan swasta. Ketiganya kompak turun pada akhir kuartal kedua dibandingkan kuartal sebelumnya. Penurunan ULN Pemerintah sampai akhir Juni berlanjut menjadi sebesar US$ 187,3 miliar dari periode akhir kuartal pertama sebesar US$ 196,2 miliar.
Baca lebih lengkap mengenai jumlah utang Indonesia di sini.