RUU Sektor Keuangan, BI Boleh Beli Surat Utang Pemerintah Saat Krisis

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. BI telah memborong SBN sebanyak Rp 831,74 triliun pada 2020 dan 2021.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/8/2022, 19.19 WIB

Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) mengatur kewenangan Bank Indonesia untuk tetap dapat membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana saat terjadi krisis ekonomi dan keuangan di masa mendatang. BI sudah membeli surat utang pemerintah tersebut selama tiga tahun terakhir saat menghadapi tekanan ekonomi akibat COvid-19.

Ketentuan soal tugas BI membeli SBN di pasar perdana tersebut tertuang dalam pasal 11 A RUU P2SK. Poin ini masuk dalam Bab XX RUU P2SK mengenai Stabilitas Sistem Keuangan yang merupakan revisi atas UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

Ketentuan soal pembelian SBN oleh BI di pasar perdana tersebut sebetulnya baru muncul dalam UU Nomor 2 tahun 2020 yang merupakan respons atas penanganan pandemi Covid-19. Melalui ketentuan pada beleid tersebut,  lahir tiga Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kemenkeu dan BI yang berakhir tahun ini.

Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menyebut kewenangan BI membeli SBN di pasar perdana dalam RUU P2SK, tetapi dibatasi hanya saat dalam kondisi krisis.

"Ini sebetulnya sudah ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2022, tetapi sudah mau habis masa berlakunya. Nanti kalau terjadi krisis lagi, bagaimana? Oleh karena itu butuh payung hukumnya," kata Andreas saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (22/8).

Pemberian kewenangan bagi BI untuk membeli SBN ini, menurut dia, untuk memastikan terdapat jalan keluar yang bisa diambil jika terjadi krisis di masa mendatang. Andreas mengatakan, hal ini lumrah dilakukan banyak bank sentral lainnya saat menghadapi tekanan ekonomi. 

Pemerintah dalam RUU APBN 2023 juga kembali menyelipkan ketentuan serupa. Pasal 25 ayat (1) RUU APBN 2023 berbunyi, pemerintah dapat menerbitkan SBN  dengan tujuan tertentu termasuk menerbitkan SBN yang dapat dibeli oleh BI. Kewenangan ini masih mengacu pada UU Nomor 2 tahun 2020.

Sementara itu, ayat (2) RUU tersebut berbunyi bahwa pembelian dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, pengaruh terhadap inflasi, jenis SBN yang diperdagangkan dan kesinambungan keuangan pemerintah dan BI. 

Dalam laporan tahunannya, BI diketahui telah memborong SBN sebanyak Rp 831,74 triliun dalam dua tahun terakhir. Pada 2020, BI membeli Rp 473,42 triliun yang meliputi pembelian di pasar perdana dalam rangka SKB I Rp 75,86 triliun. Pembelian langsung sebagai mekanisme pembagian beban alias burden sharing sesuai SKB II Rp 397,56 triliun.

Pada 2021, pembelian SBN oleh BI berkurang menjadi sebesar Rp 358,32 triliun. Pembelian tahun lalu meliputi pembelian di pasar perdana dalam rangka SKB I Rp 143,32 triliun dan melalui private placement sebagai implementasi dari SKB III Rp 215 triliun.

Pada tahun ini, BI masih akan melanjutkan pembelian di pasar perdana sebagaimana SKB I yang sudah diperpanjang hingga akhir Desember 2022. Adapun hingga akhir Juli, realisasinya sudah mencapai Rp 35,94 triliun. Selain itu, BI masih memiliki SKB III dengan rencana pembelian Rp 224 triliun melalui private placement. Ini sudah terealisasi Rp 21,87 triliun.

Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya sudah sempat mewanti-wanti agar kerja sama tersebut segera diakhiri tahun ini. "IMF mendukung komitmen pihak berwenang untuk keluar dari pembiayaan anggaran moneter sesuai target 2022. Kami merekomendasikan untuk membatasi pembelian di pasar perdana lebih lanjut di bawah mekanisme pasar tahun ini," kata Asisten Direktur IMF Cheng Hoon Lim dalam keterangan resminya Januari lalu.

IMF dalam keterangan terpisah melalui blognya sempat membeberkan sejumlah risiko jika bank sentral memborong obligasi pemerintah di pasar perdana. Salah satunya dominasi fiskal bisa mengganggu independensi otoritas moneter.

Reporter: Abdul Azis Said