Pukulan Ekonomi Jika Harga BBM Naik di Tengah Kenaikan Bunga BI

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Operator SPBU menunggu proses penyesuaian atau penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Dago, Bandung, Jawa Barat, Minggu (5/1/2020). PT Pertamina (Persero) terhitung sejak Minggu 5 Januari 2020 melakukan penyesuaian atau penurunan harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite dan Solar non subsidi mulai dari Rp300 hingga Rp1500 per liter tergantung jenis BBM untuk wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
26/8/2022, 13.22 WIB

Perekonomian Indonesia menghadapi dua tantangan berat pada bulan ini, yakni kenaikan suku bunga acuan BI dan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Hal ini dapat berdampak pada perekonomian dan memukul daya beli masyarakat. 

Sinyal kenaikan harga BBM makin kencang disampaikan sejumlah pejabat negara. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan sebelumnya mengatakan, kenaikan harga kemungkinan bakal diumumkan pekan ini.

Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution menyebut, kenaikan harga BBM dan kenaikan suku bunga BI akan berpengaruh ke kinerja ekonomi. Namun, dampak pengetatan moneter dinilai lebih terbatas dibandingkan kenaikan harga BBM. 

"Begitu harga BBM naik, masyarakat harus membayar lebih mahal beli bahan bakar, mungkin sebagian harga barang naik hampir pada saat yang sama dengan kenaikan BBM sehingga biaya hidup pun menjadi lebih mahal," kata Damhuri kepada Katadata.co.id, Rabu (24/8). 

Ia menyebut kenaikan harga bahan bakar memiliki efek yang langsung terasa ke perekonomian. Jika harga dinaikan dalam waktu dekat, menurut dia, efeknya sudah akan terasa pada kinerja ekonomi semester kedua. 

Kenaikan harga ini akan memicu inflasi. Dalam perkiraan bank sentral terbaru, inflasi hingga akhir tahun bisa mencapai 5,2%. Namun, Damhuri menilai efek kenaikan inflasi terhadap daya beli bisa diminimalisasi jika pemerintah menyediakan tambahan bantuan sosial untuk masyarakat rentan. 

Sementara efek kenaikan suku bunga terhadap perekonomian membutuhkan waktu. Kemungkinan dampaknya baru akan terasa enam hingga sembilan bulan ke depan. Oleh karena itu, efek pengetatan moneter masih sangat minimal pada kinerja ekonomi akhir tahun. 

Perbankan juga tidak serta mengerek bunga pinjamannya sekalipun bunga acuan bank sentral naik. Ia juga melihat beberapa bank kemungkinan tidak akan menaikkan bunga pinjaman demi mengejar volume kredit. 

"Kalaupun beberapa bank menaikkan suku bunga pinjaman dan simpanannya, tapi mungkin naiknya tidak akan setinggi kenaikan bunga BI 25 bps, " kata Damhuri

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky melihat prospek pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun ini tidak akan setinggi pada semester I yang mencapai 5,23%. Namun demikian, menurut dia, ekonomi masih berpotensi tumbuh di atas 5% sehingga untuk keseluruhan tahun pertumbuhannya di rentang 5%-5,1%.

"Pertumbuhan ekonomi masih robust di atas 5% pada semester II meski tidak akan sekuat pada paruh pertama, dengan momentum pemulihan yang masih berlanjut meskipun memang pertumbuhannya akan lambat," kata Riefky kepada Katadata.co.id

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman dalam risetnya menyebut kenaikan harga BBM jenis subsidi, khususnya pertalite dan solar akan menggerus pertumbuhan ekonomi. Hitung-hitungannya, kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter akan menggerus pertumbuhan ekonomi 0,17% dan mengerek inflasi 0,83%. Sementara kenaikan solar menjadi Rp 8.500 akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi 0,07 poin persentase dan mengerek inflasi 0,33 poin.

"Dampak dari kenaikan diperkirakan tidak hanya akan memiliki dampak putaran pertama pada inflasi harga diatur pemerintah, tetapi juga dampak putaran keduanya untuk barang lainnya dan jasa di samping bahan bakar dan transportasi," kata Faisal dalam risetnya, Selasa (23/8).

Ia menyebut inflasi headline pada akhir tahun diperkirakan meningkat signifikan menjadi 6% dari perkiraan awal 4,6%.

 

Reporter: Abdul Azis Said