Bank Dunia memperingatkan perekonomian global berisiko jatuh ke jurang resesi pada tahun depan dengan skenario pengetatan moneter yang lebih kuat. Namun, perlambatan ekonomi akan menekan inflasi lebih rendah dibandingkan jika ekonomi tidak mengalami resesi.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia merincikan tiga skenario prospek perekonomian global dalam jangka pendek hingga 2024. Skenario pertama, yang disebut sebagai perkiraan dasar alias baseline. Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan Bank Dunia mencapai 2,9% pada tahun ini akan turun menjadi 2,4% pada tahun depan, tetapi kembali menguat menjadi 3% pada 2024.
Dalam skenario baseline tersebut, perekonomian dunia memang akan melambat tetapi tidak sampai kepada resesi. Perlambatan ekonomi disebabkan oleh suku bunga global yang semakin tinggi. Di sisi lain, hambatan dari pasar komoditas dan rantai pasok diperkirakan mereda.
Pelemahan ekonomi terutama terjadi di negara maju, sedangkan pertumbuhan ekonomi negara berkembang justru diperkirakan tumbuhn menguat hingga 2024. Skenario baseline juga memperkirakan inflasi global pada tahun depan sebesar 4,6%, turun dibandingkan perkiraan tahun ini sebesar 7,7% tetapi masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu sebesar 4,4%. Perkiraan inflasi tahun depan juga akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata target inflasi dunia 2,5%.
Skenario kedua, ekonomi global akan mengalami penurunan tajam. Dalam skenario ini, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia pada tahun ini terkoreksi menjadi 2,8% dan semakin melambat menjadi 1,7% pada tahun depan, tetapi sedikit membaik pada 2024 menjadi 2,7%.
Skenario kedua ini mencerminkan perlambatan ekonomi akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif. Kenaikan suku bunga kemungkinan lebih tinggi jika memang langkah moneter dalam skenario baseline ternyata tak berhasil membawa inflasi turun ke level target.
"Di bawah skenario ini, ekonomi global masih akan lolos dari resesi. Namun, ekonomi akan mengalami penurunan global (dalam hal PDB per kapita) setara dengan yang terjadi pada tahun 2001 dan lebih buruk daripada yang terjadi pada tahun 1998 dan 2012," demikian tertulis dalam laporan Bank Dunia, seperti dikutip Selasa (20/9).
Dalam skenario ini, inflasi tahun ini masih akan tetap sama dengan skenario baseline yakni sebesar 7,7%. Namun, inflasi akan lebih rendah menjadi 4,1% pada tahun depan seiring penurunan tajam pada perekonomian, lebih rendah dibandingkan skenario baseline 4,6%. Penurunan ini juga lebih dikarenakan moderasi harga energi seiring menurunnya permintaan agregat.
Di sisi lain, inflasi inti dalam skenario kedua ini diperkirakan tidak terlalu turun jauh dibandingkan skenario baseline karena ekspektasi inflasi masih bertahan tinggi. Oleh karena itu, menurut Bank Dunia, ada kemungkinan bank sentral perlu mengambil langkah ekstra dengan kenaikan bunga lebih tinggi lagi. Hal ini membawa pada skenario ketiga, yakni skenario resesi global.
Dalam skenario ketiga ini, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan masih mencapai 2,8% pada tahun ini tetapi akan jatuh ke pertumbuhan tipis 0,5% pada tahun depan sebelum akhirnya bangkit ke 2% pada 2024. Ekonomi negara maju akan terkontraksi 0,6% pada tahun depan, sedangkan negara berkembang dan emerging masih tumbuh meskipun melemah dibandingkan dua skenario sebelumnya menjadi 1,8%.
"Skenario ini mengasumsikan bahwa pembuat kebijakan di ekonomi utama mengamati peningkatan ekspektasi inflasi yang lebih besar daripada yang diasumsikan di skenario penurunan tajam. Mereka merespons dengan menerapkan yang lebih besar dari yang diharapkan," kata Bank Dunia.
"Pada 2023, ekonomi global akan mengalami resesi yang besarnya sama dengan yang terjadi pada tahun 1982, dengan pertumbuhan melambat menjadi 0,5%," tambah Bank Dunia.
Sebagai akibat resesi global, inflasi dunia tahun depan akan mendingin dengan penurunan yang lebih cepat menyentuh 3%, sebelum kembali ke 3,5% pada 2024. Inflasi tahun depan bahkan turun lebih dari separuh perkiraan inflasi tahun ini.