Badai Resesi Global Segera Tiba, Apakah Indonesia Bisa Selamat?

123RF.com/Elnur Amikishiyev
Badai Resesi Global Segera Tiba, Apakah Indonesia Bisa Selamat?
Penulis: Agustiyanti
4/10/2022, 06.30 WIB
  • Sejumlah lembaga internasional memprediksi resesi ekonomi global kemungkinan besar terjadi pada tahun depan.
  • Beberapa negara maju, seperti Jerman dan Inggris, sudah terlebih dahulu jatuh ke jurang resesi ekonomi. 
  • Ekonomi Indonesia masih diperkirakan tumbuh 5 % pada tahun ini dan tahun depan.

Kesulitan dan ketidakpastian tinggi merupakan gambaran yang diberikan Presiden Joko Widodo soal perekonomian tahun depan. Tak ada satupun kepala negara yang ditemuinya dalam sebulan terakhir memandang optimistis perekonomian pada 2023.

"Semua negara berada dalam posisi kesulitan. Arah ekonomi semakin sulit diprediksi," ujar Jokowi di UOB Economic Outlook 2023 di Jakarta, pekan lalu.

Gambaran suram yang diberikan Jokowi sejalan dengan ramalan terbaru banyak lembaga internasional. Bank Dunia, Dana Moneter Internasional atau IMF, Bank Pembangunan Asia atau ADB, Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD, hingga perusahaan investasi global JP Morgan melihat resesi ekonomi global semakin mungkin terjadi pada tahun depan. 

Perang antara Rusia dan Ukraina telah memperburuk gangguan rantai pasok global sehingga  mendorong harga energi dan pangan naik semakin tinggi. Lonjakan inflasi terjadi di sejumlah belahan dunia, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat dan kawasan Eropa.

Tekanan inflasi ini mendorong siklus pengetatan moneter yang makin agresif di banyak negara. Kenaikan suku bunga berdampak berdampak pada melambatnya laju perekonomian. 

Dari keempat negara dengan ekonomi terbesar dunia, dua di antaranya yakni Amerika Serikat dan Jerman, sudah mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut pada tahun ini. Banyak negara yang mendefinisikannya sebagai resesi ekonomi, meski tak begitu dengan AS.

Di AS, resesi secara resmi akan diumumkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional. Definisi resesi menurut lembaga tersebut berbeda dengan negara lain, yakni tanda-tanda bahwa pelemahan ekonomi meluas berupa PHK besar-besaran hingga perlambatan aktivitas sektor swasta. Pemerintah AS hanya menyebut kontraksi di kuartal kedua lalu sebagai tanda-tanda perlambatan alih-alih resesi.

Meski demikian, banyak ekonom yang memperkirakan resesi ekonomi akan benar-benar terjadi di AS pada akhir tahun ini. Langkah bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, yang diperkirakan masih agresif mengerek suku bunga hingga inflasi benar-benar terkendali menjadi penyebabnya.

Kondisi ekonomi Jepang dan Cina juga tak baik-baik saja. Lembaga Investasi Nomura Holdings memperkirakan Jepang mengalami resesi ekonomi pada tahun depan. Sementara ekonomi Cina diramal tumbuh jauh melambat dibandingkan prediksi awal.  

Bank Dunia memperkirakan Cina hanya akan tumbuh 2,8 % pada tahun ini, jauh dari prediksi April sebesar 5 %. Ada dua masalah yang membelit ekonomi Negeri Tembok Raksasa itu, yakni target Cina yang masih mengejar nol kasus Covid-19 dan krisis properti. Ekonomi Cina yang biasanya tumbuh kencang diperkirakan belum akan pulih tahun depan, hanya 4,5 %. 

Selain itu, ekonomi Inggris dan zona Euro saat ini berada di tepi jurang resesi ekonomi akibat lonjakan inflasi yang tinggi. Naiknya harga barang dan jasa di Uni Eropa menembus 10 % pada September, sedangkan inflasi di Inggris 9,9 % pada Agustus, setelah bulan sebelumnya 10 %.

Akankah Indonesia Lolos dari Resesi? 

Indonesia tampaknya masih cukup aman dari risiko perlambatan setidaknya hingga akhir 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparannya pekan lalu menunjukan bahwa konsumsi rumah tangga akan relatif stabil di sisa tahun ini. Dorongan kinerja ekspor yang sangat kuat juga akan menopang pertumbuhan ekonomi.

Ia pun mengutip berbagai survei dari lembaga internasional yang memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 5 % pada tahun ini. Perkiraan IMF, ekonomi Tanah Air tumbuh 5,3 % tahun ini, Bank Dunia 5,1 %, ADB 5,4 %, dan konsensus Bloomberg di 5,2 %.  

Berbagai indikator ekonomi sampai dengan bulan lalu masih menunjukkan kinerja positif. PMI Manufaktur Indonesia naik ke 51,7 dari posisi Juli 51,3 poin. Konsumsi listrik masih tumbuh kuat baik bisnis maupun industri, masing-masing 24,1 dan 11,2 %. Indeks Penjualan ritel juga tumbuh 5,4 %. 

"Dari dalam negeri, kegiatan ekonomi menunjukan kinerja yang mulai positif, dilihat dari Google Mobility Index yang di atas pandemi di 19,5 % pada 16 September. Meskipun kemarin ada kebijakan harga BBM, tapi tidak mempengaruhi mobilitas," kata Sri Mulyani.

Bagaimana Kondisi Ekonomi Tahun Depan?

Pemerintah masih optimistis dengan ekonomi domestik meski memberikan gambaran suramnya perekonomian global. Ini terlihat dari target pertumbuhan ekonomi 5,3 % dalam APBN 2023 yang baru disahkan DPR pada Kamis (29/9). 

Sri Mulyani mengatakan, perekonomian global bakal menghadapi ketidakpastian yang tinggi pada tahun depan. Berbagai gejolak ekonomi kemungkinan belum mereda pada 2023.

“Kami menyampaikan gambaran gejolak ekonomi global saat ini tidak untuk membuat kita khawatir dan gentar. Namun untuk memberikan sense bahwa gejolak perekonomian tahun ini maupun tahun depan harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan hati-hati,” ujarnya. 

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, kecil kemungkinan Indonesia mengalami resesi ekonomi pada tahun depan. Ini karena sebagian besar perekonomian Indonesia mengandalkan konsumsi domestik sehingga transmisi dari resesi ekonomi global tidak akan berdampak besar. 

Meski demikian, menurut dia, perlambatan ekonomi global akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan. Josua menilai tak mudah bagi pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% sesuai dengan target APBN 2023. Selain karena perlambatan ekonomi global, menurut dia, ada faktor kenaikan suku bunga BI. 

Ekonom senior yang juga Menteri Keuangan RI 2010-211 Chatib Basri juga sempat menyebut, kurang terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan global menjadi faktor keberuntungan saat ini. Tak heran ekonomi Indonesia mampu tumbuh kuat saat banyak negara lain sudah resesi atau berada di ambang resesi.  

Chatib menjelaskan, ekonomi Indonesia tidak terlalu banyak terhubung dengan ekonomi global, seperti Singapura maupun Australia. Jaringan produksi kedua negara tersebut benar-benar terkoneksi dengan global.

Kondisi ini membuat pukulan kuat ekonomi dunia ke Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dua negara tersebut. Di sisi lain, menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan sekuat negara lain saat ekonomi global pulih. 

Ia mencontohkan ekonomi Singapura yang melonjak 7,6 % pada tahun lalu setelah jatuh dalam tahun sebelumnya karena pemulihan global. Sedangkan ekonomi Indonesia pada tahun lalu hanya tumbuh 3,7 %.

"Jika ingin mengurangi efek limpahan negatif, kita beruntung karena ekonomi Indonesia kurang terintegrasi dengan global, tetapi ketika pemulihan datang, kita mungkin tertinggal," kata dia.

Meski demikian, Chatib juga memperkirakan perlambatan ekonomi akan terjadi pada tahun depan. Ini karena inflasi mulai terkerek sehingga BI harus mulai menaikkan suku bunga acuan. 

Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja memperkirakan, inflasi pada tahun ini lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya 4 % menjadi 4,9 %, dengan inflasi bulan September diperkirakan melompat akibat kenaikan harga BBM. "Untuk tahun 2023, kami  juga merevisi perkiraan inflasi rata-rata menjadi 4.1 %," ujarnya. 

Kenaikan inflasi akan berdampak pada penjualan ritel dan berpotensi menghambat momentum pertumbuhan ekonomi. Mesi dekikian, ia optimistis pengambil kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan akan terus bersinergi untuk memastikan bahwa pertumbuhan tidak melambat signifikan,

"Kami mempertahankan perkiraan pertumbuhan PDB kami ebesar 4,8% untuk 2022 dan 5,0% untuk tahun 2023," ujarnya. 

Halaman berikutnya: Pukulan Harga Komoditas hingga Kaburnya Modal Asing

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said