Pukulan Harga Komoditas hingga Kaburnya Modal Asing
Meski lolos dari resesi, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, perlambatan ekonomi global tetap akan terasa ke Indonesia. Transmisinya dirasakan lebih dulu melalui tren penurunan harga komoditas yang menjadi pendongkrak ekspor dan penerimaan negara tahun ini.
Harga komoditas yang tinggi sejak tahun lalu yang berlanjut hingga pertengahan tahun ini menjadi pendorong utama kinerja ekspor Indonesia. Ekspor beberapa kali mencetak rekor bulanan, demikian pula dengan neraca perdagangan.
Tak hanya berdampak pada kinerja ekspor, harga komoditas yang melejit berhasil mendongkrak penerimaan negara sehingga melampaui target pada tahun lalu dan kemungkinan juga tahun ini. Berkat penerimaan negara yang melambung, pemerintah mampu memberikan tambahan subsidi energi menjadi Rp 502 triliun sehingga inflasi terkendali dan ekonomi masih mampu tumbuh 5 %.
Josua memperkirakan, sektor yang terkait dengan komoditas ke depan akan mengalami dampak negatif dari perlambatan perekonomian global. Selain itu, industri yang banyak mengandalkan permintaan ekspor seperti tekstil dan furnitur akan merasakan dampak terlebih dahulu dari resesi ekonomi global.
Selain transmisinya pada jalur perdagangan, dampak dari resesi global berpotensi akan mempengaruhi kinerja investasi di pasar keuangan dan sektor riil. Potensi resesi dunia yang dipengaruhi oleh pengetatan kebijakan moneter global di tengah tren kenaikan inflasi juga berimbas pada aliran modal asing ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, asing telah melepas SBN mencapai Rp 150 triliun. Kepemilikan asing di SBN rupiah turun dari Rp 893,6 triliun pada 3 Januari 2022 menjadi Rp 743,23 triliun per 22 September 2022.
Senjata Penangkal Resesi
Meski peluang resesi kecil, Josua menilai pemerintah perlu fokus dalam menjaga stabilitas perekonomian dan mendorong produktivitas belanja agar tak terjadi perlambatan ekonomi yang dalam. Pemerintah, menurut dia, harus mampu memastikan momentum pertumbuhan konsumsi rumah tangga sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.
Menurut Josua, pemerintah juga perlu memperluas ruang fiskal di tengah upaya mengembalikan defisit APBN di bawah 3% terhadap PDB pada tahun depan. “APBN merupakan instrumen fiskal yang dapar menjadi shock absorber ketika terjadi gejolak/shock dari eksternal,” ujarnya.
Sri Mulyani sebelumnya juga beberapa kali menekankan peran APBN dalam melindungi perekonomian domestik dari gejolak global. Ia mengatakan, belanja APBN bakal menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di sisa tahun ini karena banyak belanja yang sebenarnya belum digunakan.
Menurut Sri Mulyani, belanja negara menjadi salah satu komponen yang akan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi sulit dunia. Ini juga berlaku terhadap APBN tahun depan, meski belanja negara yang dialokasikan sedikit lebih kecil dibandingkan tahun ini.
“APBN 2023 tentu terus diharapkan menjadi instrumen yang handal dan efektif di dalam menjaga perekonomian Indonesia,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah mengalokasikan belanja negara pada tahun depan mencapai Rp 3.061 triliun. Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat mencapai Rp 2.246,5 triliun dan transfer ke daerah dan Dana Desa Rp 814,7 triliun.