Dana Moneter Internasional atau IMF melihat prospek ekonomi global lebih suram pada tahun depan. Lembaga ini memperkirakan sepertiga ekonomi dunia akan masuk ke jurang resesi pada tahun depan.
IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan dari ramalan Juli sebesar 2,9% menjadi 2,7%. Lembaga ini bahkan melihat potensi penurunan pertumbuhan ekonomi global lebih dalam lagi, yakni hingga di bawah 2% meski probabilitasnya hanya 25%.
“Ekonomi global semakin melemah dan menghadapi lingkungan yang secara historis rapuh," ujar Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas peluncuran World Economic Outlook terbaru, seperti dikutip dari keterangan resmi Selasa (11/10).
Dalam World Economic Outlook edisi Oktober tersebut, IMF melihat sepertiga ekonomi dunia akan mengalami kontraksi ekonomi secara berturut-turut. Kondisi tersebut didefinisikan oleh sebagian besar ekonom dan negara sebagai resesi ekonomi.
Gournchas menjelaskan, prospek ekonomi yang suram pada tahun depan disebabkan oleh tiga masalah utama. Pertama, inflasi yang terus-menerus naik dan meluas yang menyebabkan krisis biaya hidup. Kedua, invasi Rusia ke Ukraina dan krisis energi terkait. Ketiga, perlambatan ekonomi di Cina.
"Namun, untuk tahun ini, proyeksi kami untuk pertumbuhan PDB dunia tidak berubah di 3,2%, seperti pada pembaruan Outlook Ekonomi Dunia Juli," ujarnya.
IMF memperkirakan, ekonomi Amerika Serikat akan terkontraksi pada paruh pertama tahun depan, sedangkan Eropa akan terkontraksi pada paruh kedua tahun depan. Sementara ekonomi Cina akan menghadapi perlambatan tajam akibat pembatasan ketat Covid-19 dan krisis di sektor properti yang memburuk.
"Kami juga melihat pertumbuhan ekonomi global di bawah 1% dengan kemungkinan 10%-15%, sesuai dengan penurunan output riil per kapita,” kata Gourincha.
Ia mengatakan, risiko penurunan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi di tengah berbagai jenis kebijakan yang digelontorkan otoritas banyak negara untuk mengendalikan inflasi tinggi yang menyebabkan krisis biaya hidup. Risiko kesalahan kalibrasi kebijakan moneter, fiskal, atau keuangan telah meningkat tajam pada saat ekonomi dunia secara historis masih rapuh dan pasar keuangan menunjukkan tanda-tanda stres.
“Sebagian besar risiko terhadap prospek adalah ke bawah. Ada risiko kebijakan moneter, kesalahan kalibrasi pada saat ketidakpastian dan kerapuhan yang tinggi," ujarnya.
IMF khawatir banyak bank sentral yang akan melakukan pelonggaran terlalu dini sehingga menyebabkan inflasi tetap terlalu tinggi. Hal ini dapat membutuhkan kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih besar di kemudian hari.
"Di sisi lain, dolar yang terus menguat dapat memicu inflasi dan memperkuat pengetatan keuangan, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," ujarnya.
Ia juga mengingatkan, utang pascapandemi yang tinggi dan biaya pinjaman yang lebih tinggi dapat menyebabkan tekanan utang yang meluas di negara-negara berpenghasilan rendah. Di sisi lain, krisis real estat yang lebih dalam di Cina dapat menyebabkan tekanan keuangan yang parah.
"Perang lebih lanjut dapat mengacaukan pasar energi. Kebangkitan pandemi akan menghantam daerah yang kurang divaksinasi dengan keras, terutama Afrika, sedangkan fragmentasi geopolitik lebih lanjut dapat menghambat koordinasi dan perdagangan kebijakan global,” kata Gourinchas.