Kementerian Keuangan mencatat, investor asing telah melepas kepemilikannya di surat utang pemerintah atau surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 166,45 triliun sepanjang tahun ini hingga 22 November 2022. Kepemilikan asing di SBN telah anjlok lebih dari separuh dibandingkan akhir 2019 dari 38,57% menjadi 14,06%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, sentimen negatif yang terjadi akibat kondisi global menekan pasar keuangan emergi market dalam bentuk aliran modal asing keluar. Ia mencatat aliran modal asing keluar dari pasar emerging market mencapai US$ 82,6 miliar atau setara Rp 1.288,5 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.600 per dolar AS. Jumlah ini 17% dari total asset under management atau AUM.
“Di Indonesia, aliran modal asing keluar dari pasar keuangan Indonesia baik pada pasar saham maupun SBN mencapai Rp 89,57 triliun,” uyar Sri Mulyani dalam Konferansı Pers APBN Kita, Kamis (24/11).
Ia menjelaskan, modal asing keluar lebih besar di pasar SBN, yakni mencapai Rp 167,45 triliun. Meski demikian, Menurut Sri Mulyani, dana asing sudah mulai kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia sebesar Rp 10,66 triliun seiring menurunnya inflasi AS pada Oktober 2022 ke level 7,7% yang turut memberikan sinyal perlambatan kenaikan Suku bunga AS.
Sri Mulyani menilai, pasar keuangan tak terlalu bergejolak meeski dana asing keluar deras dari pasar keuangan di Indonesia karena porsi kepemilikan asing di SBN yang kini hanya tersisa 14,06%. Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh Bank Indonesia dan perbankan.
“Kalau meihat porsi asing yang menurun, ini tidak menyebabkan guncangan,” ujar dia.
Menurut dia, posisi imbal hasil atau yield SBN Indonesia cenderung moderat dibandingkan negara emerging market lainnya. Yield SUN IDR tenor 10 tahun naik 10,2% sepanjanga tahun ini, lebih baik dibandingkan kenaikan yield obligasi dengan deominasi mata uang lokal lainnya, seperti India yang mencapai 12,9%, Meksiko 21%, FIlipina 53,3%, dan Amerika Serikat 148,7%.
“Kondisi pasar SBN masih resilient didukung likuiditas domestik yang cukup ample dan mendorong penyempitan spread imbal hasil surat berharga negara lain,” kata dia.
Meski demikian, menurut dia, likuiditas global cenderung menurun dan flight to quality karena kebijakan moneter yang hawkish dari beberapa bank sentral negara lainnya.