Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok rata-rata sebesar 10% pada tahun depan. Namun, pemerintah masih ragu menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis seiring kondisi perekonomian yang berpotensi terganggu gejolak global.
Kepala Bea Cukai Askolani mengatakan, pemerintah saat ini masih mengkaji kembali rencana penerapan cukai minuman berpemanis yang sedianya ditargetkan untuk diterapkan tahun depan. "Kebijakan tersebut masih di-review sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional tahun depan," ujar Askolani kepada Katadata.co.id, Selasa (13/12).
Kondisi perekonomian Indonesia pada tahun depan dibayangi oleh prospek suram perekonomian global. Pemerintah juga mulai pesimistis target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2023 sebesar 5,3% akan mampu tercapat. Meski demikian, ekonomi Indonesia diperkirakan masih tumbuh di atas 5%.
Kondisi perekonomian memang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menerapkan instrumen cukai. Hal ini juga berlaku pada penerapan tarif cukai hasil tembakau.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) mengingatkan pentingnya cukai minuman berpemanis segera diterapkan. Kebijakan baru ini sangat penting terutama jika melihat angka penderita diabetes yang terus meningkat.
Peneliti kesehatan masyarakat Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) Gita Kusnadi mengatakan angka perawatan diabetes di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini, menurut dia, terkait erat dengan konsumsi minuman berpemanis.
"Kami mendorong pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan yang komprehensif untuk menekan angka diabetes, salah satunya dengan kebijakan cukai," ujar Gita dalam diskusi dengan Katadata.co.id, pekan lalu.
Ia menjelaskan, edukasi yang selama ini dijalankan pemerintah untuk menekan konsumsi gula, garam, dan lemak tak berdampak signifikan terhadap pembatasan konsumsi masyarakat. Berdasarkan studi yang dilakukan CISDI, upaya promotif edukatif untuk menekan konsumsi gula perlu didorong oleh intervensi cukai.
"Selain cukai, kami juga mendorong pemerintah untuk mewajibkan labeling informasi kandungan gula yang lebih mudah dipahami dan pembatasan iklan dalam hal ini untuk anak-anak," ujarnya.
Menurut dia, beberapa negara yang sudah menerapkan cukai berhasil menekan angka konsumsi gula. Di Thailand misalnya, penerapan cukai minuman berpemanis dapat menekan konsumsi harian sebesar 2,5%.
"Hal yang positif juga, penurunan konsumsi paling besar di Thailand adalah kategori softdrink. Memang mungkin karena pengaturan besaran cukai berdasarkan kandungan gulanya dan seperti kita ketahui kandungan gula dalam softdrink cukup tinggi," ujarnya.
Usul Tarif Cukai 20%
CISDI mengusulkan agar pemerintah menerapkan tarif cukai minuman berpemanis mencapai 20% dari harga. Tim Peneliti CISDI Agus Widarjono mengatakan hal ini sesuai dengan rekomendasi dari badan kesehatan dunia atau WHO.
CISDI juga melakukan studi elastisitas harga permintaan. Hasilnya, menurut Agus, penerapan cukai MBDK sebesar 20% akan menurunkan permintaan masyarakat rata-rata hingga 17,5%.
Ia mengatakan, pemerintah pernah menyosialisasikan tiga skenario penerapan tarif cukai MBDK yang dihitung untuk setiap liter minuman. Tarif cukai dalam rentang Rp 1.500-Rp 2.500 dan Rp.2000-Rp 2.500 yang diterapkan berdasarkan kandungan gulanya, dan tarif Rp 4.200 dipukul rata.
"Yang sesuai dengan standar WHO itu hanya jika menggunakan skenario ketiga atau tarif Rp 4.200 per liter, kenaikannya sekitar 23% dari rata-rata harga minuman berpemanis," ujarnya.