Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja melanggar aturan hukum.
Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur mengatakan, Perppu ini merupakan bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
“Ini semakin menunjukkan bahwa presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna sebagaimana diperintahkan MK,” katanya dalam keterangan resmi dikutip Sabtu (31/12).
Penerbitan Perppu Ciptaker ini tambahnya tidak memenuhi syarat diterbitkannya Perppu, yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa. Presiden seharusnya mengeluarkan PERPU Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat. Tetapi, saat itu presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review.
“Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” ujar dia.
Menurutnya, saat Mahkamah Agung (MK) memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu. Perintah MK jelas bahwa Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan PERPU.
“Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan PERPU ini. Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi dimana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional,” jelasnya.
MK dalam putusannya juga melarang pemerintah membentuk peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya pemerintah terus membentuk peraturan turunan tersebut.
“Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perppu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan. Penerbitan PERPU ini semakin melengkapi ugal-ugalan pemerintah dalam membuat kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain,” kata Isnur.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/21/uu-cipta-kerja-mendominasi-pengujian-di-mahkamah-konstitusi-pada-2020
Penerbitan di ujung tahun, sambung Isnur juga menunjukkan bahwa presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan akhir tahun.
Maka, atas penerbitan Perppu tersebut YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut. Yakni, mengecam penerbitan PERPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, menuntut presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK, dan menarik kembali PERPU No. 2 Tahun 2022, menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi. Serta, mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan hak asasi manusia.
Sebagai informasi, Jumat (31/12), tiba-tiba Pemerintah mengumumkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.