Kementerian Keuangan atau Kemenkeu belum menentukan lama parkir devisa hasil ekspor atau DHE di dalam negeri. Pemerintah bakal mengatur aturan itu untuk memperkuat devisa nasional agar siap menghadapi ancaman resesi global.
Aturan ini bakal diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah atau PP No. 1-2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
"Kami akan melakukan perubahan, terutama menyangkut scoop-nya. Kalau aturan dari penyimpanan devisa dari sisi Indonesia dengan mata uang dari negara yang lain-lain, nanti kita bahas," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (12/1).
Sri Mulyani menekankan fokus dalam revisi aturan DHE juga terkait perluasan cakupan sektor industri yang memproduksi barang ekspor. Sejauh ini, pemerintah hanya mencatatkan devisa hasil ekspor sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Pembahasannya akan melibatkan para kementerian koordinator terkait, kementerian terkait, dan Bank Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan devisa yang masuk ke dalam negeri saat ini hanya dicatat oleh Bank Indonesia tanpa kewajiban untuk mengendap. Sedangkan, bank sentral di beberapa negara tetangga menetapkan devisa yang masuk harus diendapkan dalam jangka waktu tertentu.
Menurutnya, revisi PP No. 1-2019 akan mengubah kebijakan Devisa Bebas di dalam negeri. Seperti diketahui, kebijakan Devisa Bebas tidak mensyaratkan lama devisa untuk mengendap di dalam negeri. Kebijakan tersebut akan diubah untuk meningkatkan jumlah devisa di dalam negeri.
"Pemerintah akan mengkaji PP No. 1-2019, bukan hanya sektornya, tapi juga jumlahnya, sektornya mana, kemudian berapa lama parkir di dalam negeri," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantor Presiden, Rabu (11/1).
Airlangga mencontohkan India dan Thailand yang mewajibkan devisa yang masuk untuk mengendap setidaknya 6 bulan. Sementara itu negara lain mengatur waktu endapan hingga 12 bulan.
Airlangga mengatakan salah satu revisi yang diinginkan presiden adalah menambah sektor yang dijadikan cadangan devisa. Sektor yang dimaksud adalah sektor manufaktur, seperti permesinan dan otomotif.
Saat ini sektor yang dimasukkan dalam PP No. 1-2019 adalah pertambangan, perkebunan, kehutanan , dan perikanan. Menurutnya, revisi PP No. 1-2019 akan menjadikan pertumbuhan cadangan devisa sejalan dengan pertumbuhan ekspor dan surplus neraca perdagangan.
Airlangga menyampaikan pertimbangan revisi tersebut adalah proyeksi pertumbuhan performa ekspor pada 2023. Menurutnya, nilai ekspor sepanjang 2023 akan melambat menjadi 12,8%, sedangkan capaian impor tumbuh sebesar 14,9%.