Utang pemerintah hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 7.733,99 triliun, setara 39,57% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan utang Indonesia masih sehat dan pengelolaannya dilakukan dengan baik.
"Rasio utang 39% itu sehat sebetulnya. Anda terobsesi yang dianggapnya sehat itu kalau tidak punya utang, ya tidak ada negara seperti itu. Semua negara, termasuk Brunei Darussalam dan Arab Saudi punya utang," kata Sri Mulyani dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan Media Indonesia, Jumat (3/2).
Utang pemerintah secara nominal meningkat Rp 825 triliun dibandingkan akhir 2021. Meski demikian, rasionya turun dari 40,74%. Batas aman utang pemerintah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur maksimal pinjaman pemerintah mencapai 60% terhadap PDB.
Peningkatan utang pemerintah sepanjang tahun lalu terutama terjadi pada instrumen surat berharga negara (SBN) yang menyumbang kenaikan Rp 756 triliun. Kenaikan itu terutama terjadi pada instrumen penerbitan SBN dalam negeri. Sementara instrumen utang dalam bentuk pinjaman juga naik sebesar Rp 68 triliun.
Sri Mulyani memastikan pihaknya terus mengelola utang dengan baik dan prudent. Ada beberapa strategi yang dilakukan, di antaranya mendorong peningkatan investor di dalam negeri, artinya semakin banyak warga negara Indonesia yang menjadi pengendali surat utang pemerintah. Kepemilikan investor asing dalam SBN menyusut tersisa 14,36% pada akhir tahun lalu, dibandingkan akhir 2019 sebesar 38,57%.
Selain itu, pemerintah juga menjaga komposisi mata uang dari utang yang diterbitkan. Catatan Kemenkeu, utang berbentuk rupiah mencapai 70,75% dari total utang pemerintah akhir tahun lalu.
"Kalau kemudian kami lihat maturitas atau jatuh temponya harus cukup panjang, sehingga jangan sampai kemudian jatuh temponya besok kemudian tidak punya untuk bayarnya," kata Sri Mulyani.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebelumnya sempat mengkritik utang luar negeri pemerintah yang terus menggunung. Kritikan itu disampaikan lewat video yang diunggah di akun twitter resmi Partai Demokrat belum lama ini.
Kritikan itu langsung direspon oleh Stafsus Menteri Keuangan Bidang komunikasi Strategis Yustinus Prastowo yang menjelaskan bahwa lonjakan utang pada awal pandemi adalah sebuah keniscayaan. Ia beralasan, penerimaan negara amblas karena Covid-19, sedangkan pemerintah butuh anggaran yang besar untuk belanja penanganan pandemi.
Defisit anggaran Indonesia selama dua tahun pandemi meningkat 10,7% dari PDB. Ini artinya penarikan utang juga semakin banyak. Namun demikian, menurut Prastowo, kenaikan defisit tersebut tidak setinggi negara lain seperti Thailand yang mencapai 17%, Filipina 22,1% maupun Cina 11,8%.
"Lihat saja lonjakan rasio utang dari 30% menjadi 39% dalam setahun di 2020, demi menangani dampak kesehatan, sosial dan ekonomi karena Covid-19. Bukankah ini keniscayaan dan justru menunjukkan tanggung jawab pemerintah yang sekarang diapresiasi sebagai salah satu negara yang berhasil menangani pandemi dengan baik?" kata Prastowo, Senin (23/1).