Pemerintah Amerika Serikat terancam default alias gagal bayar utang jika isu plafon utang tak juga menemui titik temu hingga awal bulan depan. Kementerian Keuangan memastikan isu tersebut tidak memiliki dampak yang berarti ke pasar surat utang pemerintah Indonesia.
"Isu pagu utang AS sejauh ini tidak memengaruhi pasar keuangan AS maupun pasar keuangan global, sehingga tidak mempunyai dampak berarti terhadap pasar surat berharga negara (SBN) Indonesia," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto dalam pesan singkatnya, Rabu (3/5).
Suminto menjelaskan, kinerja pasar SBN domestik saat ini juga masih sangat baik. Hal ini tercermin dari imbal hasil alias yield surat utang negara benchmark bertenor 10 tahun yang berada di level 6,52%, turun 42 bps sejak awal tahun ini. Imbal hasil turun mengindikasikan bahwa harga sedang naik yang mencerminkan tingginya permintaan, artinya surat utang pemerintah Indonesia masih diminati investor.
Hal ini terbukti dari aliran masuk investor asing ke pasar SBN mencapai Rp 60,5 triliun sejak awal tahun sampai dengan kemarin (2/5). Suminto juga menyebut persepsi risiko persepsi risiko membaik ditandai dengan credit default swap alias CDS untuk tenor lima tahun yang turun 2,91 bps year to date ke level 96,66.
"Kinerja pasar SBN yang baik ini selain didukung oleh likuiditas domestik yang ample, juga didukung oleh capital inflows," ujarnya.
Terlepas dari masih alotnya pembahasan di Kongres AS, Suminto melihat masalah plafon utang pemerintah AS sebetulnya isu klasik yang pada kasus-kasus sebelumnya selalu tercapai kesepakatan, yakni menaikakn utang. Menurutnya otoritas AS pasti akan mempertimbangkan perlunya membiayai fiskal, termasuk membayar utang.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, risiko default pemerintah AS umumnya memberikan sentimen negatif ke pasar keuangan global. Pasar khawatir karena surat utang pemerintah AS alias US Treasury selama ini sudah terkenal sebagai aset paling aman akan menjadi kejutan di pasar.
Josua menilai risiko default tersebut akan mix terhadap pasar keuangan domestik dengan kecenderungan positif. Alasannya, menurut dia, kondisi fundamental pasar obligasi pemerintah Indonesia sangat mendukung terjadinya inflow atau aliran masuk.
"Sejauh ini kecenderungannya akan bias positif untuk Indonesia karena kondisi utang dan fundamental ekonomi kita jauh lebih baik dibandingkan sebagian besar negara maju termasuk Amerika Serikat," kata Josua, Jumat (28/4).
Seperti halnya Suminto, ia juga tak begitu risau lantaran risiko default ini sangat kecil. Menurut dia, kebuntuan yang terjadi di pemerintahan AS soal plafon utang pada akhirnya akan menemui keputusan akhir seperti periode-periode sebelumnya. Perdebatan soal plafon utang juga sempat terjadi pada 2021. Namun, Kongres AS pada akhirnya tetap setuju untuk menaikkan batas utang sekalipun memang sempat ada 'drama' di Kongres AS.