IMF Peringatkan Risiko Kenaikan Utang Korporasi Asia, Bagaimana RI?
Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan meningkatnya risiko gagal bayar utang sektor swasta di Asia seiring era suku bunga tinggi. Namun, ekonom melihat kondisi korporasi di dalam negeri relatif masih cukup baik.
IMF menyebut utang swasta di Asia terkonsentrasi di perusahaan-perusahaan dengan rasio cakupan bunga atau interest coverage ratio (ICR) yang rendah atau kurang dari satu. ICR ini mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar bunga. Semakin rendah rasionya maka kesanggupan membayar utang semakin buruk.
"Pada pertengahan 2022, lebih dari 20% utang perusahaan di Cina, India, Indonesia, Korea Selatan dan Thailand dimiliki oleh perusahaan dengan ICR rata-rata kurang dari satu selama empat kuartal, perusahaan ini dianggap beresiko bangkrut," dikutip dari laporan terbaru IMF, Rabu (3/5).
Konsentrasi utang di perusahaan yang berisiko itu jauh di atas rata-rata historis. Mayoritas berasal dari sektor industri, properti serta konstruksi. Risiko bisa makin besar jika pasar keuangan makin ketat dan intermediasi perbankan turun tajam.
Lalu bagaimana kondisi korporasi di Indonesia? Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat kondisi utang perusahaan-perusahaan di Indonesia masih cukup aman. Baik utang yang berasal dari dalam maupun luar negeri menunjukkan kondisi masih aman.
Posisi utang luar negeri sektor swasta Indonesia sebesar US$ 198,5 miliar pada Februari 2023, menyentuh di bawa US$ 200 miliar untuk pertama kalinya sedikitnya dalam setahun terakhir. Posisi tersebut turun 3,4% dibandingkan tahun lalu, baik utang lembaga keuangan maupun non keuangan.
David melihat minat swasta untuk menarik utang dari luar negeri setahun terakhir tidak setinggi saat booming komoditas pada tahun 2010-2014.
"Risiko suku bunga tinggi tentu akan mempengaruhi swasta yang utangnya dalam dolar dan struktur bunganya ada yang termasuk variabel yang akan naik sesuai peningkatan suku bunga di luar negeri," kata David, Rabu (3/5).
Ia juga menilai, pengelolaan utang luar negeri swasta sudah semakin prudent. Hanya tersisa beberapa perusahaan yang dinilai cukup berani menarik utang valuta asing sekalipun pendapatannya dari rupiah.
Selain itu, menurut David, risiko utang dalam negeri swasta juga semakin baik. Hal ini tercermin dari loan at risk alias LAR kredit perbankan yang terus menurun setelah meningkat tajam pada pandemi.
Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga tak begitu khawatir soal utang swasta di dalam negeri. Ini karena nonperforming loan alias NPL korporasi nonkeuangan masih rendah dan cenderung membaik.
Suku bunga di dalam negeri yang ikut naik menurutnya tentu akan mempengaruhi beban bunga korporasi. Namun ia masih optimistis neraca keuangan koperasi di dalam negeri akan tetap kuat dan mampu bertahan. Perusahaan-perusahaan juga masih akan mampu membayar kewajibannya sejalan dengan prospek bisnis dan perekonomian Indonesia yang terus membaik.
"Perkiraan kami, suku bunga kebijakan Bank Indonesia sebesar 5,75% saat ini masih dapat diantisipasi oleh pelaku usaha dan kami perkirakan suku bunga kebijakan BI tidak akan naik lagi mengingat tingkat inflasi yang terkendali dan nilai tukar rupiah yang cenderung menguat," kata Josua.
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana juga melihat risko utang swasta di dalam negeri relatif terjaga. Hal ini sejalan dengan rating surat utang Indonesia yang sejauh ini masih relatif baik. Karena itu menurutnya risiko utang domestik sebetulnya relatif baik dibandingkan negara lain di kawasan.
"Dengan fundamental ekonomi berupa inflasi yang lebih rendah, cost of fund yang mulai turun, pasar uang antarbank juga mulai turun, saya lihat mungkin risiko kita jauh lebih renda dengan negara Asia lainnya," kata Fikri.