Rupiah melemah 24 poin ke level Rp 14.899 per dolar AS pada pembukaan pasar spot pagi ini, Rabu (24/5). Kekhawatiran pasar terhadap isu kenaikan plafon utang AS yang tak kunjung mencapai kesepakatan diprediksi akan menekan rupiah hari ini.
Mengutip Bloomberg, rupiah terus melemah ke arah Rp 14.909 pada pukul 09.20 WIB. Rupiah sudah terkoreksi 0,23% dari penutupan kemarin sore.
Kurs garuda melemah bersama beberapa mata uang Asia lainnya seperti won Korea Selayan yang jatuh 0,34%, ringgit Malaysia 0,24% dan yuan Cina 0,12%. Namun beberapa lainnya masih menguat seperti baht Thailand dan yen Jepang masing-masing terapresiasi 0,11% dan 0,12%.
Analis DCFX Lukman Leong memperkirakan rupiah akan melemah hari ini dengan bergerak di rentang Rp 14.850-Rp 14.950 per dolar AS. Perhatian pasar masih fokus terhadap isu plafon utang AS yang tak kunjung mencapai kesepakatan. Hal ini memicu pelaku pasar mengambil langkah risk off atau sentimen menghindari aset berisiko.
Pertemuan antara Presiden Joe Biden dan Ketua DPR Kevin McCarthy beberapa hari lalu belum juga mencapai kesepakatan untuk menahan atau menaikkan plafon utang AS. Namun demikian, Biden menyebut pertemuan itu 'produktif'.
Pasar khawatir kesepakatan tak tercapai mendekati batas akhir, di mana pemerintah akan kehabisan uang dan berisiko default pada awal Juni.
Analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra memperkirakan rupiah masih akan tertekan oleh isu plafon utang AS. Isu tersebut masih bertahan di tengah sentimen kemungkinan suku bunga bank sentral AS, The Fed, masih akan naik.
Ia menyebut beberapa pejabat The Fed memberi komentar hawkish yang mengindikasikan kenaikan bunga kemungkinan masih akan dilakukan untuk menekan inflasi.
"Pendapat tersebut membantu penguatan dolar AS terhadap nilai tukar lainnya," kata Ariston dalam catatannya pagi ini, Rabu (24/5).
Selain itu, ekspektasi kenaikan bunga lebih lanjut itu juga didukung beberapa data ekonomi AS yang cukup bagus dalam rilis semalam. Data indeks sektor jasa dan penjualan rumah baru membaik. Ariston menyebut kinerja ekonomi AS yang bagus berpotensi menaikan inflasi di AS dan bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk menaikan suku bunganya lagi.
Sementara, dari dalam negeri cukup positif. Data surplus neraca pembayaran kuartal pertama tahun ini meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya menjadi US$ 6,5 miliar. Data ini, kata Ariston, bisa menahan pelemahan tak terlalu dalam.