Mengawali perdagangan di akhir pekan ini, Jumat (8/9), nilai tukar rupiah melemah 0,22% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke level 15.334. Mata uang Garuda berpotensi melemah lebih lanjut dipengaruhi beberapa sentimen, terutama terkait data ekonomi AS.
Analis pasar uang, Ariston Cendra menilai rupiah masih bisa bergerak melemah terhadap dollar AS setelah data klaim tunjangan pengangguran semalam menunjukkan angka klaim yang mencapai 216.000, lebih rendah dari ekspektasi 234.000 klaim.
Data tersebut bisa menguatkan ekspektasi bahwa suku bunga tinggi AS akan berada di level tinggi untuk periode yang lebih lama. Data tenaga kerja yang solid bisa menaikan kembali inflasi di AS.
Selain itu perlambatan ekonomi Cina masih terlihat pada neraca perdagangannya di bulan Agustus dimana masih terjadi penurunan nilai ekspor dan impor.
Di sisi lain, penurunan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS mungkin memberikan indikasi pelemahan dollar AS dimana pelaku pasar keluar dari dollar AS dan masuk ke nilai tukar lainnya. "Hari ini, potensi pelemahan ke arah 15,350, dengan potensi penguatan ke arah 15,280- 15,300," kata Ariston.
Sedangkan analis pasar uang Lukman Leong memprediksi rupiah berpotensi menguat dalam rentang 15,250-15,400. Penguatan rupiah diperkirakan dapat terjadi terhadap dolar AS setelah pernyataan dovish dari pejabat-pejabat bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
"Rupiah diperkirakan berpotensi menguat terhadap dolar AS yang terkoreksi setelah pernyataan dovish dari pejabat-pejabat the Fed. Range 15.250-15.400," ujarnya.
Melansir Reuters, Presiden Federal Reserve Bank Dallas Lorie Logan pada hari Kamis mengatakan bahwa meskipun mungkin tepat untuk tidak menaikkan suku bunga pada pertemuan bank sentral AS yang akan datang, pengetatan kebijakan yang lebih besar mungkin diperlukan untuk menurunkan inflasi hingga 2%.
"Perkiraan pada dasarnya tidak pasti. Namun, kasus dasar saya adalah masih ada pekerjaan yang harus dilakukan," katanya seperti dikutip Reuters.
The Fed telah menaikkan suku bunga kebijakannya sebanyak 5,25 persen poin sejak Maret 2022 dalam upaya melawan inflasi yang pada puncaknya tahun lalu mencapai 7% berdasarkan ukuran pilihan The Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi.