Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berupaya menjaga stabilitas pasokan pangan untuk mengendalikan inflasi. Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus dioptimalkan sebagai shock absorber di tengah tekanan yang disebabkan fenomena El Nino.
Shock absorber artinya instrumen yang penting untuk mendukung penanggulangan krisis dan pemulihan ekonomi serta reformasi struktural.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan inflasi meningkat disebabkan oleh musim kemarau yang panjang akibat dampak El Nino. Produksi pangan secara umum menurun, sehingga beberapa harga komoditas meningkat, seperti beras dan aneka cabai.
Sebagai respons dalam mengendalikan harga pangan, pemerintah berupaya memitigasi dampak El Nino melalui upaya stabilisasi pasokan terutama komoditas strategis.
"Penerapan kebijakan operasi pasar, gelar pangan murah, dan intervensi harga terus konsisten dilakukan agar ekspektasi inflasi dapat terjaga," ujar Febrio dalam keterangan tertulis, Kamis (2/11).
Pemerintah juga memberikan tambahan perlindungan sosial, antara lain dengan menambahkan bantuan beras hingga akhir tahun 2023 dan menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino untuk periode November-Desember, guna menjaga daya beli kelompok miskin dan rentan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Oktober tercatat meningkat 2,56% secara tahunan. Kenaikan ini didorong oleh inflasi harga pangan bergejolak volatile food.
Inflasi harga diatur pemerintah atau administered price juga naik menjadi 2,12% dari angka 1,99%, seiring dengan harga minyak mentah yang masih tinggi.
Sementara itu, perlambatan inflasi inti masih berlanjut mencapai 1,91% yoy dari 2,00% (yoy) pada September 2023.
Indeks Purchasing Managers (PMI) Indonesia pada Oktober berada pada level 51,5. Capaian tersebut menurut Febrio menandakan ekspansi manufaktur Indonesia telah terjadi selama 26 bulan terakhir secara berturut-turut.
“Ekspansi manufaktur Indonesia terutama ditopang oleh tingkat permintaan dan output produksi yang masih meningkat,” katanya.
Meski masih ekspansif, kinerja manufaktur Indonesia menunjukkan perlambatan dalam dua bulan terakhir seiring dengan melambatnya pertumbuhan global. Dampak dari perlambatan ekonomi global juga terlihat dari kinerja manufaktur beberapa negara yang berada di zona melemah.
Seperti Tiongkok 49,5, Thailand 47,5, Vietnam 49,6, Malaysia 46,8, Australia 48,2, dan zona Eropa 43. Sementara, India sebagai salah satu perekonomian pada kelompok emerging economies (EMs) dan pasar potensial ekspor Indonesia masih di zona ekspansif 55,5.
Febrio menjelaskan kinerja manufaktur Indonesia yang masih ekspansif menunjukkan resiliensi ekonomi Indonesia di tengah berkontraksinya manufaktur di banyak negara seiring dengan peningkatan risiko global.
“Meskipun sedikit melambat, sentimen dalam sektor manufaktur Indonesia secara keseluruhan masih positif. Capaian ini akan terus kami jaga melalui berbagai dukungan kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengantisipasi risiko global”, ujar Febrio.