Anies dan Prabowo Berdebat soal Rasio Utang RI, Berapa yang Ideal?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Capres nomor urut dua Prabowo Subianto (kiri) menyampaikan pendapat disaksikan capres nomor urut satu Anies Baswedan (kanan), dan capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo saat adu gagasan dalam debat ketiga Pilpres 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024). Debat kali ini bertemakan pertahanan, keamanan, hubungan internasional, globalisasi, geopolitik, dan politik luar negeri.
Penulis: Agustiyanti
8/1/2024, 06.15 WIB

Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto atau PDB menjadi topik perdebatan antara calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dan capres nomor urut 2 Prabowo Subianto. Hal ini terkait dengan penggunaan utang untuk membeli alat utama persenjataan atau alutsista. 

Anies mempertanyakan penarikan utang bukan untuk pembiayaan alutsista yang dianggap tidak termasuk kegiatan produktif. Ia pun menilai utang pemerintah perlu dijaga di bawah 30% terhadap PDB agar keuangan negara benar-benar sehat. 

 “Dengan menata utangnya dan memperbesar GDP-nya, yang tidak kalah penting adalah melakukan pengembangan skema yang lebih kreatif dalam mencari utang luar negeri termasuk pelibatan swasta,” ujar Anies. 

Menanggapi Anies, Prabowo menilai, pembelian alutsista dengan utang merupakan hal yang lumrah dan tidak masalah selama dikelola dengan tepat. Apalagi, menurut dia, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB adalah salah satu yang terendah di dunia. 

"Rasio utang kita terhadap PDB adalah  salah satu terendah di dunia, Jadi masih kita sekitar 40% dan banyak negara di atas kita," ujar Prabowo. 

Ia bahkan meminta Anies perlu kembali mempelajari ilmu ekonomi terkait pernyataannya soal rasio utang terhadap PDB.

Berdasarkan data terakhir yang dirilis Kementerian Keuangan, total utang pemerintah hingga November 2023 mencapai Rp 8.041 triliun, bertambah Rp 301 triliun dibandingkan akhir tahun lalu atau Desember 2022. Namun demikian, rasio utang turun dari 39,7% per Desember 2023 menjadi 38,11% per November 2023. 

Kementerian Keuangan menyebut, rasio utang pemerintah tersebut masih jauh di bawah batas aman yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Keuangan Negara mencapai 60% terhadap PDB. 

Seperti halnya Prabowo, Kementerian Keuangan beberapa kali mengklaim bahwa rasio utang pemerintah masih jauh berada di bawah negara lainnya. Rasio utang pemerintah adalah salah satu yang terendah di antara negara G20.

Berapa Rasio Utang Negara yang Aman?

Bank Dunia sempat mengemukakan kekhawatiran terkait utang negara-negara berkembang yang melonjak, terutama selama pandemi Covid-19. Berdasarkan data Bank Dunia, utang negara-negara di Asia Timur dan Pasifik melonjak dalam satu dekade terakhir. Kenaikan terjadi pada utang pemerintah, korporasi, hingga rumah tangga.

Bank Dunia menilai, kondisi utang Indonesia berdasarkan rasio terhadap PDB jauh lebih baik dibandingkan negara-negara Asia Timur dan Pasifik lainnya. Negara-negara tetangga Indonesia di ASEAN, memiliki rasio utang yang jauh lebih tinggi di atas 50%.

Meski rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia tergolong rendah, menentukan rasio utang yang aman tak semudah itu pada faktanya. 

BPK pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2021 pernah  memperingatkan kerentanan utang pemerintah tahun 2020 sudah melampaui batas yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan International Debt Relief (IDR). Rasio utang terhadap PDB Indonesia saat itu sebesar 39,39%.

"Rasio debt service terhadap penerimaan pemerintah sebesar 46,77%, melampaui rekomendasi IMF 25%-35%," tulis laporan tersebut.

Selain itu, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga sudah melampaui rekomendasi IMF sebesar 90%-150% dan rekomendasi IDR 92%-167%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% juga melampaui rekomendasi IMF sebesar 7%-10% dan batas IDR sebesar 4,6%-6,8%.

"Indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0%," bunyi laporan tersebut.

Kesinambungan fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel, tetapi tetap dapat memberikan layanan kepada masyarakat dalam jangka panjang. Kesinambungan fiskal memperhatikan faktor kebijakan belanja dan pendapatan, serta memperhitungkan biaya pembayaran utang pemerintah.