Gara-gara Bansos, Perdana Menteri Thailand Ribut dengan Bank Sentral

Akun Twitter (X) resmi Perdana Menteri Srettha Thavisin
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin
7/2/2024, 13.50 WIB

Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin berselisih dengan gubernur bank sentral terkait pembagian bantuan sosial (bansos) senilai US$ 14 miliar. Sebab, Gubernur Bank of Thailand Sethaput Suthiwartnarueput menolak proposal bansos tersebut karena alasan negara tidak dalam keadaan krisis.

Sementara Srettha justru menyebut, rakyat Thailand sedang menderita dan kenaikan suku bunga acuan telah merugikan ekonomi. Dia pun mendesak parlemen agar menyetujui penyaluran bansos senilai US$ 280 untuk 50 juta warga berpenghasilan rendah yang ditransfer melalui dompet digital atau e-wallet.

Dilansir dari Financial Times, Rabu (7/2), bantuan tersebut merupakan janji kampanye dari partai Srettha. Dia mengatakan, bansos tersebut diperlukan untuk memacu konsumsi, mendukung bisnis serta pemulihan ekonomi Thailand.

Sebaliknya, bos bank sentral Thailand menolak hal tersebut, dengan alasan negara tidak dalam keadaan krisis, kemudian mengkritik kebijakan dompet digital serta stimulus jangka pendek dari pemerintah.

Dibandingkan hal itu, Sthaput justru meminta pemerintah membuat kebijakan jangka panjang seperti peningkatan produktivitas untuk mendukung populasi yang menua di negara tersebut.

Kepala Eurasia Group di kawasan Asia Tenggara Peter Mumford menyebut, Srettha sebagai salah satu dari sedikit pemimpin dunia yang mencoba meyakinkan masyarakat, bahwa kondisi ekonomi saat ini lebih buruk.

“Perdana Menteri dan bank sentral berselisih mengenai masa depan kebijakan dompet digital. Hal ini membuat sulit bagi siapa pun yang mencoba memperkirakan apa yang terjadi perekonomian Thailand," kata dia.

Thailand Targetkan Ekonomi Naik 5%

Perselisihan ini menggarisbawahi posisi Thailand yang genting dalam upaya mereka untuk keluar dari perlambatan ekonomi akibat Covid-19. Apalagi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% selama empat tahun ke depan.

Padahal ekonomi Thailand hanya tumbuh 1,8% pada tahun 2023, lebih rendah dari perkiraan bank sentral sebelumnya sebesar 2,5% hingga 3%. Pertumbuhan telah tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan dan indeks harga konsumen terkontraksi selama empat bulan berturut-turut, turun 1,1% pada Januari 2024.

Namun bank sentral tetap mempertahankan suku bunga pada tingkat tertinggi dalam satu dekade, yaitu 2,5% demi mengantisipasi peningkatan jumlah kunjungan pariwisata dan tingkat konsumsi pada tahun ini.

Sebagian besar warga Thailand tampaknya setuju bahwa ekonomi sedang tertekan. Hampir 64% responden pada survei terbaru yang dilakukan Institut Administrasi Pembangunan Nasional mengatakan ada krisis ekonomi yang memerlukan perhatian segera.

Namun program e-wallet ini memunculkan banyak pertanyaan, seperti terkait skema penyaluran bansos dan peluncurannya ke depan. Awalnya, ingin merilis program ini pada  bulan Februari namun mundur menjadi Mei 2024.

Selain itu, program dompet digital ini mendapatkan kritikan tajam karena negara menanggung fiskal yang besar. Bank asal Singapura DBS, memperkirakan bahwa program bansos ini dapat mendorong defisit negara hingga lebih dari 5% pada tahun fiskal 2024.

Di sisi lain, Srettha bahkan mengulangi seruannya kepada bank sentral untuk segera menurunkan suku bunga pada hari Selasa, dengan mengatakan pemotongan sebesar 0,25 poin tidak akan memicu inflasi.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari