Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 akan tergantung pada keputusan pemerintahan baru.
Dia menjelaskan, bahwa kebijakan tersebut telah ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “PPN itu di UU HPP, jadi selama ini UU HPP bunyinya demikian," ujar Airlangga kepada wartawan di Jakarta, Jumat (22/3).
Namun keputusan kenaikan PPN 12% tetap berada di tangan pemerintahan baru. Jika disetujui presiden baru, maka kebijakan pajak tersebut akan masuk dalam UU APBN.
“Jadi kita lihat saja, UU APBN itu bisa membuat kebijakan terkait dengan angka PPN. Tapi [penerapannya tetap] tergantung pada program pemerintah nanti seperti apa,” ujarnya.
Pemerintahan Baru akan Bahas Terkait Target Pajak
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengatakan hal yang serupa. Menurutnya, penerapan tarif PPN 12% tetap mengikuti peraturan dan fatsun politik atau etika politik yang santun. Maka dari itu, kenaikan tarif PPN akan menjadi keputusan pemerintahan baru.
“PPN 12% itu sesuai dengan fatsun politiknya saja, UU HPP yang dibahas kita semua [sudah] setujui, namun kita juga harus menghormati pemerintahan baru, “ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (19/3).
Dalam pemerintahan baru nanti, kata dia, akan ada pembahasan mengenai target penerimaan pajak. “Jadi kalau targetnya penerimaan masih pakai PPN 11%, nanti disesuaikan targetnya dengan UU HPP dan akan disesuaikan,” ujarnya.
Sebagai informasi, kenaikan PPN 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam UU HPP. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu.
Kemudian pemerintah kembali menaikkan PPN menjadi 12% dan paling lambat diberlakukan pada 1 Januari 2025. Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan yang paling tinggi 15%.