Presiden terpilih Prabowo Subianto mengakui bahwa program makan siang dan susu gratis membutuhkan anggaran yang sangat besar. Bahkan, dia tak menepis bahwa program susu gratis tidak mudah terealisasi secara merata.
Dia pun menyiapkan alternatif pengganti susu sapi sebagai sumber protein seperti susu kerbau, susu kambing, telur, ikan dan lainnya. Itu semua disesuaikan dengan tipologi dan ketersediaan sumber daya alam (SDA) di masing-masing daerah.
"Itu tergantung daerahnya, sebagai contoh Maluku Barat Daya, Pulau Moa. Mereka itu banyak [konsumsi] susu kerbau. Ada daerah-daerah yang banyak kambing etawa, bisa dapat susu kambing dan ini harus kita lihat," kata Prabowo dalam keterangannya di TvOne, dikutip Senin (27/5).
Jika daerah lain sulit mendapatkan susu, maka pemerintah akan membagikan atau mencari sumber protein hewani lain seperti ikan dan telur. Hal itu berdasarkan saran atau rekomendasi para ahli gizi.
"Para pakar cerita kepada saya, kalau telur kita bisa jauh lebih murah di suatu daerah dan susu itu terlalu mahal. Mungkin karena sapi kurang atau ongkos angkutnya kurang. Kita bisa konsetrasi kepada telur, ikan dan sebagainya," ujarnya.
Dengan begitu, pemerintah tidak akan menerapkan pola yang sama dalam pembagian susu gratis di tiap daerah. Karena Indonesia terdiri atas daerah pengunungan, pesisir dan kepulauan. "Jadi kita selalu fleksibel, yang penting anak-anak kita dapat makanan bergizi," ujarnya.
Rencana tersebut mendapat tanggapan dari sejumlah ekonom. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual setuju jika kebutuhan protein hewani disesuaikan dengan ketersediaan di wilayah masing-masing.
"Untuk karbohidrat juga bisa disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan daerah setempat. Dengan mengupayakan diversifikasi ke sumber olahan karbohidrat di luar beras yang sekarang impornya cukup besar," kata David kepada Katadata.co.id, Senin (27/5).
Tak berbeda, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga menilai kebutuhan protein bagi anak-anak bisa disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku lokal. "Asalkan kandungan gizi tetap dijaga itu tidak masalah. Justru bagus untuk ekonomi lokal," ujar Eko.
Untuk itu, Eko berharap pasokan pangan untuk makan siang gratis lebih baik dari dalam negeri dan tidak bergantung pada impor. Sehingga negara harus swasembada pangan atau bisa memproduksi pangan sendiri.
Jika program ini bisa memaksimalkan produksi lokal, maka perekonomian dalam negeri bisa meningkat. Hal ini dibarengi dengan tingkat gizi anak-anak Indonesia yang juga bisa berkembang pesat.