Utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp 800,33 triliun pada 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tingginya angka utang tersebut karena faktor pandemi Covid-19.
Ketika itu Indonesia membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun untuk belanja tambahan. Di sisi lain, penerimaan negara juga turun 19%. Pandemi juga membuat Bank Indonesia dan Kemenkeu sepakat menjalankan skema burden sharing dengan memakai surat utang negara.
"Maksimum jatuh tempo (SUN) itu di tujuh tahun. Sekarang konsentrasi di tiga tahun terakhir. Ini yang mungkin menimbulkan persepsi, kok banyak sekali utang numpuk," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Kamis (6/7).
Ia menyebut risiko yang dihadapi suatu negara bukan terletak pada besaran angka utangnya, melainkan kondisi negaranya. "Jadi, kalau negara ini tetap kredibel, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) baik, kondisi ekonomi baik, kondisi politik stabil, maka revolving itu sudah hampir dipastikan risikonya sangat kecil karena market beranggapan, "Oh negara ini akan tetap sama"," katanya
Data Kementerian Keuangan menunjukkan angka utang jatuh tempo tersebut terdiri dari pinjaman Rp 94,83 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp 705,5 triliun. Porsi jatuh tempo SBN terhadap outstanding utang mencapai 88,28%. Angkanya juga tinggi pada 2026 dan 2027, masing-masing 87,73% dan 86,61%.
Sri Mulyani mengatakan, pemegang surat utang negara tidak lantas langsung mengambil hasil. Biasanya mereka tetap membutuhkannya untuk alat investasi, kecuali terjadi kepanikan karena kondisi negara tidak stabil. "Makanya stabilitas dan kredibilitas serta sustainabilitas itu penting," katanya.
Saat menjadi menteri keuangan pada periode sebelumnya, ia mengatakan sempat mengalami jatuh tempo utang dengan porsi besar selama satu tahun. Kondisi ini bisa teratasi dengan kepercayaan pasar yang tetap terjaga.
“Kemampuan Kementerian Keuangan untuk smoothing, mengurangi jumlah yang jatuh tempo itu adalah berdasarkan reprofiling surat-surat berharga berdasarkan jatuh tempo. Kadang-kadang kami diversifikasi dari jatuh temponya dan dari sisi mata uangnya,” ujarnya.