Badan Pusat Statistik mencatat tren penurunan penduduk kelas menengah mulai terjadi pada 2020 atau ketika pandemi Covid-19. Pada 2019 angka kelas menengah mencapai 57,33 juta orang. Lalu, dua tahun kemudian anjlok menjadi 52,83 juta orang.
Tren tersebut terus terjadi hingga 2024. Pada 2022, BPS mencatat jumlah penduduk kelas menjadi 49,51 juta orang, pada 2023 mencapai 48,27 juta orang, dan tahun ini terus susut hingga 47,85 juta orang.
Artinya, setelah Indonesia dilanda pandemi, jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 5,98 juta orang. Bisa dikatakan hampir 6 juta orang turun kasta sejak Covid-29 muncul. Kondisi ini menjadi
"Memang kami identifikasi masih ada scarring effect (efek luka) dari pandemi terhadap ketahanan kelas menengah,” kata Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (28/8).
Dalam data yang ia paparkan, penduduk menuju kelas menengah pada 2019 mencapai 128,85 juta orang dengan proporsi 48,20%. Lalu pascapandemi atau 2021 naik menjadi 130,82 juta orang dan pada 2024 terus menanjak hingga 137,50 juta orang dengan proporsi 49,22%.
Data tersebut perlu diantisipasi dengan mencari jaring pengaman yang cocok untuk kelas menengah. Sebab, angka itu juga menunjukkan adanya kerentanan kelas menengah.
Pengeluaran penduduk kelas menengah saat ini cenderung lebih dekat ke batas bawah dan semakin mendekati batas bawah. BPS menghitung angkanya sekitar Rp 2.056.494 per kapita per bulan.
"Kalau ada kerentanan atau kelas menengah terganggu maka mereka akan masuk ke kelompok menuju kelas bawah bahkan rentan miskin," ujar Amalia.
Karena itu, menurut dia, penguatan daya beli sangat diperlukan demi memperkuat fondasi ekonomi. Sebab, selama ini konsumsi kelas menengah telah menjadi penopang ekonomi nasional.
Kelompol kelas menengah dan menuju kelas menengah jumlahnya sekitar 66,4% dari total penduduk dan nilai konsumsinya 81,5% dari total konsumsi masyarakat. "Kalau ada kebijakan yang menyasar kelas menengah dan menuju kelas menengah bisa memberikan penguatan ekonomi ke depan," kata Amalia.
Insentif Dapat Ringankan Biaya Hidup Kelas Menengah
Dalam mengatasi penurunan kelompok kelas menengah, pemerintah perlu memberikan jaring pengaman. Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut insentif untuk mendorong atau meningkatkan daya beli kelas menengah sangat berbeda dengan kelas bawah.
“Jadi, bentuk insentifnya yang berkaitan dengan meringankan biaya hidup atau meningkatkan pendapatan mereka,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Kamis (29/8).
Artinya, kebijakan pemerintah untuk kelas menengah perlu memperhatikan penciptaan lapangan pekerjaan. Begitu juga dengan peningkatan pendapatan masyarakat kelas menengah.
Untuk menuju ke kebijakan tersebut, pemerintah harus membongkar dulu kelas menengah bekerja di sektor apa. Kalangan kelas menengah yang turun kelas saat ini sebagian besar atau 60% jumlahnya bekerja di sektor informal.
"Berarti harus ada insentif yang lebih besar kepada sektor informal khususnya usaha kecil dan mikro itu yang perlu diutamakan,” ujar Faisal.
Insentif yang paling penting, yaitu akses ke pasar domestik untuk usaha kecil dan mikro. Baru kemudian bantuan dalam bentuk pembiayaan sehingga upaya untuk meningkatkan pendapatan kelas menengah bisa diutamakan.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja juga menjadi hal yang paling dibutuhkan kelas menengah. “Tentu saja ini bukan di sektor informal tetapi sektor formal yang lambat sekali pertumbuhan lapangan pekerjaan. Ini kaitannya dengan investasi,” kata Faisal.
Pemerintah perlu pula meningkatkan strategi investasi. Khususnya untuk melihat bagaimana keterkaitan investasi dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang cocok bagi kalangan menengah.
Program Percepatan Atasi Risiko Penurunan Kelas Menengah
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat pemerintah perlu melakukan program percepatan untuk mengatasi anjloknya kelas menengah. “Karena penurunannya berisiko tinggi terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga maka perlu quick win,” ucapnya.
Solusi pertama, pemerintah perlu memberikan insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah atau PPh 21 DTP untuk penghasilan bruto. Insentif bisa diberikan untuk penghasilan bruto sampai Rp 200 juta per tahun.
Kedua, pemerintah menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12%. “Bahkan disarankan tarif PPN seharusnya menjadi 9% untuk mendukung daya beli,” ujar Bhima.
Lalu, insentif ketiga yang sangat dibutuhkan kelas menengah, yaitu perluas bantuan sosial. Perluasan bantuan sosial ini bisa dilakukan kepada kelompok kelas menengah yang sudah mendekati kondisi rentan.
Keempat, pemerintah menambah alokasi belanja subsidi pupuk untuk mencegah inflasi pangan berlebihan. Terakhir, pemerintah menurunkan potongan aplikator bagi pengemudi ojek online.
Potensi penurunan jumlah kelas menengah diperkirakan masih akan berlanjut sejalan dengan maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menyusutnya sektor industri pengolahan,” ujar Bhima.