Neraca Perdagangan Surplus 52 Bulan Beruntun, Agustus 2024 Capai US$ 2,90 Miliar

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Sejumlah warga memancing dengan latar belakang New Priok Container Terminal One (NPCT1) di Cilincing, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Penulis: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing
17/9/2024, 12.31 WIB

Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 mengalami surplus. Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan surplus neraca perdagangan pada periode tersebut mencapai US$ 2,90 miliar.

“Surplus ini naik US$ 2,4 miliar secara bulanan. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus 52 bulan berturut sejak Mei 2020,” kata Pudji dalam konferensi pers, Selasa (17/9).

Surplus neraca perdagangan Indonesia pada bulan lalu ditopang oleh surplus komoditas non-migas yang mencapai US$ 4,34 miliar. Hal itu dengan komoditas penyumbang utama bahan bakar mineral, lemak hewan atau nabati, serta besi dan baja. Surplus juga tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$ 1,44 miliar.

“Surplus neraca perdagangan ini lebih tinggi jika dibandingkan bulan lalu tetapi lebih rendah dibandingkan tahun lalu pada bulan yang sama,” ujar Pudji.

Ekspor Indonesia pada Agustus 2024 tercatat mencapai US$ 23,56 miliar. Angka tersebut naik 5,97% dibanding ekspor Juli 2024. Secara tahunan, nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2024 naik sebesar 7,13%.

BPS juga mencatat nilai impor Indonesia Agustus 2024 mencapai US$ 20,67 miliar. “Angka ini turun 4,93% dibandingkan Juli 2024 atau naik 9,46% dibandingkan Agustus 2023,” kata Pudji.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet sebelumnya memproyeksikan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 masih berlanjut. “Ini melanjutkan tren positif yang telah berlangsung selama 52 bulan berturut-turut dengan surplus yang diproyeksikan mencapai sekitar US$ 1,5 miliar hingga US$ 1,9 miliar,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id.

Yusuf menilai berlanjutnya surplus neraca dagang Indonesia menunjukkan optimisme yang lebih besar dibandingkan dengan realisasi pada Juli 2024 sebesar US$ 472 juta. Kenaikan harga komoditas utama seperti batubara dan crude palm oil (CPO) menjadi salah satu faktor pendorong utama peningkatan ekspor.

“Terutama dengan permintaan yang kuat dari mitra dagang seperti Uni Eropa, ASEAN, Korea Selatan, dan Cina meski ada penurunan ekspor ke India, dampaknya masih dapat diimbangi oleh pasar lainnya,” ujar Yusuf.

Selain ekspor yang relatif stabil, penurunan impor juga berperan besar dalam peningkatan surplus. Yusuf mengatakan penurunan impor, terutama di sektor manufaktur, mencerminkan adanya kontraksi aktivitas ekonomi domestik.

Dengan impor yang diproyeksikan turun secara bulanan, Yusuf mengatakan hal itu memberikan ruang bagi surplus perdagangan yang lebih besar. Namun, secara tahunan impor masih menunjukkan pertumbuhan yang menunjukkan permintaan domestik tetap ada meski tidak setinggi sebelumnya.

 

 

Reporter: Rahayu Subekti