Pemerintah batal menaikan tarif cukai rokok pada tahun 2025. Padahal, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR sudah menyampaikan usulan kenaikan tarif cukai tersebut.
Dampak pembatalan kebijakan tersebut bisa menguntungkan maupun merugikan bagi sejumlah pihak. Salah satu pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah perusahaan rokok.
“Jadi saya melihat pembatalan kenaikan tarif cukai ini sebagai kemenangan perusahaan rokok atas kebijakan pemerintah,” kata Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda kepada Katadata.co.id, Selasa (23/9).
Seperti diketahui, pemerintah mempertimbangkan fenomena downtrading untuk membatalkan kenaikan cukai rokok ini. Downtrading merupakan fenomena ketika konsumen beralih ke produk yang lebih murah.
Menurut Nailul, fenomena downtrading seharusnya bukan jadi alasan untuk membatalkan kenaikan cukai rokok. Karena persoalan downtrading hanya menjadi alasan pemerintah untuk menggabungkan layer tarif rokok berdasarkan jenisnya.
Dengan begitu, perbedaan harga antara rokok layer satu dengan layer di bawahnya tidak terlampau jauh. Untuk itu, Nailul mendesak pemerintah agar tetap menaikan cukai rokok pada 2025.
“Upaya ini bisa berdampak positif terhadap penurunan tingkat prevalensi rokok pada anak. Masalah pada penerimaan cukai tidak mencapai target jika ini dibatalkan, itu bukan target utama,” kata Nailul.
Pandangan Nailul memang cukup beralasan. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, di mana 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Kelompok anak dan remaja menjadi kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan pada 2023. Tercatat kelompok usia 15-19 tahun menjadi perokok terbanyak atau mencapai 56,5% diikuti usia 10-14 tahun sebanyak 18,4%.
Hal ini juga sejalan dengan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 yang mengungkapkan prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% pada 2016. Kemudian naik menjadi 19,2% pada 2019.
Cukai Rokok Bisa Dongkak Penerimaan Negara
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, kenaikan tarif cukai rokok bisa berdampak sangat positif terhadap penerimaan negara maupun sektor kesehatan.
“Pada saat negara menerapkan universal health coverage, maka menerapkan dan menaikkan cukai pada produk-produk yang merugikan kesehatan akan menjadi sebuah tren,” kata Wijayanto.
Maka tak mengherankan, pemerintah membidik penerimaan cukai rokok, minuman bersoda, minuman beralkohol hingga makanan berkadar tinggi. Hal ini sebagai upaya menekan tingginya kasusnya diabetes dan perokok pada anak.
Dengan upaya tersebut, menurut Wijayanto, pemerintah bisa meraup penerimaan negara lebih tinggi tanpa perlu mengurangi konsumsi masyarakat, karena rokok bersifat mengikat dan inelastis.
Namun masyarakat akan mengantisipasinya dengan membeli rokok yang lebih murah. "Sehingga peredaran cukai palsu atau rokok tanpa cukai juga akan semakin banyak. Ini merupakan sumber kebocoran negara,"kata Wijayanto.
Untung Rugi Kemasan Rokok Polos
Kebijakan kemasan rokok polos tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Aturan tersebut dinilai memiliki untung rugi dalam penerapannya.
Dari sisi kerugian, kebijakan kemasan rokok polos tidak terlalu efektif dalam menekan prevalensi merokok. Bahkan, kebijakan tersebut justru akan merugikan konsumen.
“Konsumen yang seharusnya mendapatkan barang sesuai dengan apa yang mereka beli, namun ada potensi mereka tidak mendapatkan apa yang mereka beli,” ujar Nailul.
Nailul justru menilai kebijakan yang lebih efektif dengan penetapan harga rokok yang lebih mahal tapi informasi produk pada kemasan tetap lengkap.
Berbeda dengan Nailul, Wijayanto melihat dampak positif penerapan rokok kemasan polos sebagai alternatif kebijakan yang sudah diterapkan banyak negara dan terbukti berhasil menekan persepsi rokok positif yang pada gilirannya mengurangi konsumsi rokok.
Hanya saja, Wijayanto menilai upaya pengendalian rokok harus ditempuh melalui perencanaan yang baik dan gradual. Jangan sampai kebijakan tersebut menimbulkan dampak rambatan lain yang tidak diharapkan.
“Rokok merupakan industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja baik secara langsung maupun tidak langsung,” ujar Wijayanto.
Nilai Kerugian Bisa Tembus Rp 182,2 Triliun
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan dampak negatif yang akan terjadi jika pemerintah menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek. Nilai kerugian tersebut diperkirakan mencapai Rp 182,2 triliun.
Dampak ekonomi tersebut tak hanya dirasakan industri rokok, tapi juga industri kemasan kertas, tembakau, cengkeh, dan lainnya. Selain itu, kehadiran kemasan rokok polos akan mendorong downtrading hingga peralihan ke rokok ilegal.
"Ini berpotensi menurunkan permintaan produk legal hingga 42,09%," kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam diskusi Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram, Senin (23/9).
Implikasi kebijakan kemasan polos ini dapat mengurangi penerimaan negara hingga Rp 95,6 triliun. Penurunan ini terjadi karena tidak ada perbedaan antara satu merek dengan yang lainnya. Yang menonjol hanya gambar peringatan bahaya konsumsi rokok.