Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menilai turunnya kelas menengah disebabkan pandemi Covid-19. Penurunan ini akan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintahan Prabowo Subianto untuk mencari solusi jangka panjang.
“Kelas menengah ini turun itu kan ada kaitannya sama pandemi. Kaitannya cukup besar yang punya kerja, tiba-tiba mungkin masih jadi karyawan saat itu, cuma tidak sebaik masa prapandemi,” kata Thomas dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Rabu (25/9).
Thomas beranggapan, turunnya kelas menengah bukan disebabkan kebijakan pemerintah yang ada dalam beberapa waktu terakhir ini. Sehinggga menurut dia, perlu melihat konteks penurunan kelas menengah karena pandemi Covid-19.
“Jadi jangan dianggap bahwa ada kebijakan-kebijakan tertentu yang kurang atau apa, tiba-tiba kelas menengahnya turun terus. Kan ada konteksnya,” ujar Thomas.
Meskipun begitu, Thomas mengakui saat ini terjadi perpindahan jenis pengeluaran yang dilakukan kelompok kelas menengah. Sebab, pengeluaran kelas menengah saat ini lebih banyak untuk kebutuhan pangan.
Menurut Thomas, perubahan tersebut perlu dicermati lebih dalam dan akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan selanjutnya. “Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo yang utama, bagaimana supaya mencari solusi-solusi jangka panjang untuk kembali ke level prapandemi,” kata Thomas.
Pihaknya juga sudah membahas hal tersebut dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan berkaitan dengan penanganan penurunan kelas menengah. Solusi perlu ditetapkan untuk memberikan ruang bagi kelas menengah bisa tetap tumbuh setelah adanya scaring effect atau dampak jangka panjang setelah pandemi.
"Scaring effect dari pandemi ini bagaimana itu kita stop. Tapi memang kelas menengah ini perlu perhatian khusus," ujar Thomas.
Kelas Menengah Didominasi Penduduk Muda
Sebelumnya, BPS mencatat jumlah dan persentase penduduk kelas menengah mulai menurun pascapandemi. Tercatat kelas menengah mencapai 57,33 juta orang pada 2019, dengan persentase 21,45% dari total jumlah penduduk.
Kemudian angkanya merosot jadi 47,85 juta orang dan proporsinya tinggal 17,13% pada Maret 2024 Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan kelas menengah saat ini didominasi penduduk muda.
“Sekitar satu dari tiga kelas menengah atau 36,89% merupakan generasi Z dan generasi Alpha,” kata Amalia dalam konferensi pers di Gedung BPS, Jakarta, Jumat (30/8).
Jika melihat perbandingan komposisi pengeluaran di kelas menengah, maka paling banyak mengeluarkan uang untuk makan. “Pengeluaran paling banyak masih didominasi makanan sebesar 41,67%,” ujar Amalia.
Pengeluaran terbesar kedua adalah belanja perumahan sebanyak 28,52%. Lalu untuk barang dan jasa proporsinya mencapai 6,48%. Dengan begitu, pengeluaran kelas menengah lebih banyak untuk kebutuhan makanan.
Menekan Daya Beli Kelas Menengah
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan beban potongan pekerja saat ini cukup banyak. Hal itu dikhawatirkan akan menurunkan disposable income atau pendapatan yang siap dibelanjakan.
“Ini bisa menekan daya beli kelompok menengah. Dalam 10 tahun terakhir disposable income per kapita saja sudah anjlok,” ujar Bhima.
Padahal, persiapan untuk pensiun tidak harus berbentuk pengumpulan wajib dana ke suatu lembaga. Jika ada pekerja yang punya kelebihan pendapatan, maka bisa dialokasikan untuk investasi seperti reksadana, saham, dan properti.
“Kalau dobel-dobel sudah investasi di instrumen aset kemudian diwajibkan untuk dana pensiun jadi tidak pas,” kata Bhima.