Petisi penolakan atas rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 makin meluas. Bahkan ribuan warga Indonesia menyuarakan protes lewat platform Change.org dengan menandatangani petisi tersebut.

Petisi tersebut muncul sejak 19 November 2024 dengan judul Pemerintah Segera Batalkan Kenaikan PPN. Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, Jumat (22/11), petisi tersebut sudah ditandatangani 4.934 orang.

Dalam petisi itu tertulis bahwa kenaikan PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat karena harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum baik. 

Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91 juta orang pada Agustus 2024. Dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal yang jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.

Mereka juga meragukan upah minimum provinsi atau UMP sebagai acuan pendapatan yang layak. Petisi itu juga menjabarkan data BPS 2022 terkait biaya hidup layak di Jakarta sekitar Rp 14 juta per bulan. Sedangkan UMP Jakarta pada 2024 hanya Rp 5,06 juta.

Dengan kondisi itu, kenaikan PPN akan membuat harga barang ikut naik dan sangat memengaruhi daya beli. “Sejak Mei 2024, daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” tulis petisi tersebut.

Untuk itu, pemerintah diminta untuk membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. “Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tulis petisi tersebut.

Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif PPN 12%

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan sejumlah langkah agar penetapan tarif PPN 12% bisa dilaksanakan pada 2025. Pemerintah juga akan berupaya menjelaskan sebaik mungkin agar masyarakat memahami kenaikan PPN tersebut.  

Bendahara Negara ini menjelaskan kenaikan PPN 12% diperlukan agar pemerintah tetap bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rencana kenaikan pajak ini sudah dipertimbangkan secara matang. 

“Meskipun kita buat kebijakan tentang pajak, termasuk PPN, bukan berarti membabi buta dan seolah-olah tidak punya afirmasi terhadap sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan dan bahkan makanan pokok waktu itu termasuk,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (14/12). 

Dia menekankan bahwa APBN dibuat untuk merespons berbagai kondisi di luar perkiraan pemerintah, seperti dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 dan krisis finansial secara global. 

Reporter: Rahayu Subekti