Ekonom Ungkap Akar Masalah Dana Pemda Mengendap Rp 234 Triliun di Bank

Katadata/Fauza Syahputra
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyapa wartawan sebelum menyampaikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/9/2025). Kementerian Keuangan mencatat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) per Agustus 2025 mencapai Rp 321,6 triliun atau 1,35% dari produk domestik bruto (PDB).
23/10/2025, 18.02 WIB

Persoalan dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di bank tengah menjadi sorotan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, pihaknya memiliki data dari Bank Indonesia (BI) terkait dana milik pemda yang disimpan di perbankan.

Mantan Ketua LPS itu menyebut total dana pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun. “Orang saya saja masih nggak percaya segitu. Saya masih suruh periksa lagi. Itu uang apa sebetulnya,” kata Purbaya di Gedung Kemenkeu, Selasa (21/10).

Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kemendagri, Senin (20/10), Purbaya menyoroti lambatnya eksekusi anggaran daerah yang menyebabkan dana pemda mengendap di bank.

Ia menilai persoalan utama bukan pada ketersediaan dana, tetapi pada kecepatan penyerapan belanja di daerah. Pemerintah pusat telah menyalurkan transfer ke daerah (TKD) secara penuh dan tepat waktu, dengan realisasi mencapai Rp644,9 triliun atau 74,2% dari pagu.

Purbaya juga mengkritik praktik penempatan kas daerah di bank pusat di Jakarta karena menghambat perputaran uang di ekonomi lokal. Selain itu, ia menegaskan dana publik tidak boleh dijadikan sarana mencari bunga deposito, melainkan harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Polemik ini menjadi perhatian luas, terutama karena nominal dana yang dipersoalkan tidak kecil. Kondisi ini mendapat sorotan dari para ekonom, yang menilai persoalan dana mengendap menjadi tantangan lama pemerintah daerah dalam merencanakan dan mengeksekusi anggaran secara tepat waktu.

Uang Ada, Tapi Tak Bekerja

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menyebut fenomena ini sebagai bukti bahwa fungsi fiskal daerah belum berjalan sebagaimana mestinya.

Menurut Rizal, dana publik yang seharusnya menggerakkan ekonomi justru menjadi modal pasif yang tidak menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat.

“Ketika anggaran hanya disimpan, efek pengganda dari belanja daerah hilang, sehingga daya dorong fiskal terhadap sektor riil menjadi lemah,” kata Rizal kepada Katadata.co.id, Kamis (23/10).

Ia menegaskan, masalah ini bukan sekadar teknis penyerapan, melainkan cerminan lemahnya disiplin fiskal dan perencanaan pembangunan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah.

“Banyak pemda yang menahan dana karena lemahnya perencanaan proyek, ketakutan terhadap risiko audit, hingga adanya preferensi menjaga likuiditas demi keamanan kas,” ujarnya.

Sebagian pemda, lanjut Rizal, juga memanfaatkan bunga simpanan sebagai pendapatan tambahan nonproduktif. Hal ini menunjukkan orientasi manajemen keuangan daerah yang masih bersifat administratif, bukan produktif.

“Alih-alih menjadi instrumen pembangunan, kas daerah justru dijadikan alat konservasi fiskal yang menahan potensi ekonomi lokal,” kata dia.

Rizal menyebut kondisi ini menciptakan paradoks. Di satu sisi, pemda kerap memprotes pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD), namun di sisi lain, dana yang sudah ditransfer justru tidak digunakan.

“Ini menunjukkan masalah desentralisasi fiskal bukan pada kurangnya dana, melainkan lemahnya kapasitas kelembagaan dan akuntabilitas penggunaan anggaran,” pungkasnya.

Multiplier Effect Daerah Melemah

Dari sisi makroekonomi, dampaknya terasa jelas. Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai pengendapan dana dalam jumlah besar membuat multiplier effect daerah melemah. Proyek kecil dan menengah tertunda, pesanan UMKM berkurang, dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lokal menurun.

“Bank memang menikmati likuiditas, tetapi kredit baru tetap kaku bila tidak ada pipeline proyek yang siap dibiayai,” kata Syafruddin.

Ia mengingatkan bahwa kualitas belanja jauh lebih penting ketimbang sekadar mengejar penyerapan. Namun, jika pengendapan dana menjadi kebiasaan, hal itu bisa menjadi sinyal cacat eksekusi.

Syafruddin menilai, pemerintah dapat memperbaiki kondisi ini dengan melakukan ring-fencing terhadap belanja modal prioritas, mempercepat lelang dini, dan mengaitkan transaksi proyek dengan pembiayaan rantai pasok di bank Himbara atau Bank Pembangunan Daerah (BPD).

“Dengan begitu, uang cepat menjadi pekerjaan, upah, dan output,” tegasnya.

Tak Selalu Karena Keterlambatan Belanja

Sementara itu, ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menilai dana mengendap tak selalu berarti kelambatan belanja. Bisa jadi, itu merupakan bagian dari manajemen arus kas yang belum terserap pada saat pelaporan, namun habis terpakai di akhir tahun anggaran.

Namun, jika dana tersebut melewati tahun anggaran, maka itu serupa dengan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) lintas tahun—indikasi bahwa serapan anggaran memang lambat.

“Kalau soal kelambatan belanja yang jadi isu, maka masalahnya ada di perencanaan arus kas program APBD. Tapi kalau jadi SiLPA melewati tahun anggaran, itu berarti tata kelola perencanaan anggarannya memang tidak bagus,” kata Yanuar.

Keterbatasan Opsi Pembiayaan Daerah

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky juga memandang endapan dana pemda di perbankan tidak selalu menjadi kendala. Menurutnya, dana tersebut penting bagi pemda karena opsi pembiayaan yang terbatas.

“Berbeda dengan pemerintah pusat yang apabila ada mismatch cash flow bisa menerbitkan surat utang, pemda tidak bisa,” ujar Riefky.

Karena itu, pemda perlu memastikan kecukupan tabungan untuk kebutuhan belanja, apalagi di tengah kebijakan pemotongan TKD yang berdampak pada arus penerimaan daerah.

“Apalagi di tengah kebijakan pemotongan TKD yang sangat berdampak terhadap arus penerimaan pemda,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti