Pembukaan hutan, untuk berbagai tujuan, kerap mimicu perselisihan antara perusahaan dan masyarakat adat. Konflik lahan juga mengikuti pengembangan perkebunan sawit, walau tidak selalu. Di Sorong, Papua Barat terjadi hal tersebut, seperti di Distrik Segun, Gisim, dan Waimon, distrik paling ujung di Kabupaten Sorong.
Suku Moi di sana dihadapkan dengan rencana pembukaan perkebunan sawit. Mereka sering didatangi pihak perusahaan. Hingga satu ketika, kata Barnabas Malalu (47) perwakilan marga Malalu, mereka menerima uang Rp 150.000.000 per marga sebagai kompensasi membuka hutan 14.000 hektare. “Dengan catatan boleh menanam di tanah kami, bukan menjulanya,” ujar Barnabas, Kamis 24 September 2021.
Namun beberapa tahun semenjak menandatangani kontrak tersebut, mereka tak menemukan titik terang. “Di mana jalan yang dijanjikan akan dibangun, di mana ada penerangan? Seolah terlupakan begitu saja. Kami merasa dipermainkan,” ujarnya.
Berikut ini sebagian potret Suku Moi di antara hutan adat dan pembukaan perkebunan sawit.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ruth Nibra (65) duduk di dapur rumahnya di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Selasa, (21/9/2021). Menurutnya hutan adat adalah wilayah keramat dan tak satupun orang boleh menyentuhnya, apabila perkebunan kelapa sawit sampai menguasai wilayah adat kami nanti maka itu adalah anacaman besar bagi anak, dan cucu kami nanti.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Samuel Ketumlas (48) berdiri di atas tanah adat Suku Moi di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Minggu, (19/9/2021). Selaku sekretaris kampung adat saya menyatakan tidak akan mengizinkan masuknya industri kelapa sawit disini, mulai dari kami lahir sudah diberi makan dan minum dari hasil hutan adat ini oleh orang tua kami. Dengan janji palsu apapun kami tidak akan menerimanya demi menjaga adat dan keturunan kami di masa depan nanti.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Wenand Kayaru (72) salah satu masyarakat adat Suku Moi di Ditsrik Gisim, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin, (20/9/2021). Sekitar sepuluh tahun yang lalu ia dan beberapa perwakilan warga adat di Dsitrik Gisim sempat menerima uang dari pihak perusahaan sebesar Rp.500.000.000 untuk dua marga yang diberikan secara berangsur dengan luas lahan 15.000 hektare, saat ini ia berada di dalam ketakutan dan kekhawatiran karena tidak adanya kejelasan dari pihak perusahaan.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Masyarakat adat Suku Moi berkumpul di sanggar saat musyawarah pemilihan Kepala Kampung di Distrik Waimon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin, (20/9/2021). Suku Moi merupakan suku adat terbesar di Kabupaten Sorong, bagi mereka hutan ibarat ibu kandung yang melahirkan dan menyusui, dalam bahasa aseli Moi "Tam Sini" berarti yang memberi makan dan minum. Hingga saat ini masyarakat adat Suku Moi masih bergantung dengan hutan sebagai sumber kehidupan.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Barnabas Malalu (47) salah satu masyarakat adat Suku Moi di Ditsrik Waimon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin, (20/9/2021). Sebelumnya, selama enam tahun berulang kali pihak perusahaan mendatangi saya dan menawarkan perjanjian terkait perizinan lahan, sampai akhirnya saya selaku perwakilan Marga Malalu dan Marga Kasilit di Distrik Waimon menerima uang sebesar Rp. 150.000 untuk luas lahan sekitar 14.000 hetare. Semua saya terima karena iming-iming akan dibangunnya jalan untuk anak-anak sekolah dan diberik
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Selama ini masyarakat adat Suku Moi merasa tidak adanya manfaat dari perkebunan sawait bagi pribumi. Tidak adanya proteksi terhadap mereka membuat masalah kia berakar. Beberapa hari lalu Johny Kamuru selaku Bupati setempat telah mencabut izin perusahaan dengan luas 500.000 hektare hutan adat dan akan dikemablikan kepada masyarakat adat untuk dikelola sebagaimana mestinya aturan adat.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Permenas Hae (56) berpose di dalam rumahnya di Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Minggu, (19/9/2021). Menurutnya Segun merupakan titik lokasi yang terbilang kecil, selama beberapa tahun terakhir beberapa perusahaan terus berdatangan dengan dalih janji akan membawa kami kepada kemajauan dengan dibangunkannya jalan dan anak-anak diberi pendidikan. Sebagai Kepala Kampung saya dan beberap marga yang ada di distrik ini tak akan izinkan perusahaan masuk, karena sawit menurut saya hanya akan membawa k
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Masyarakat adat Suku Moi berkumpul di sanggar saat musyawarah pemilihan Kepala Kampung di Distrik Waimon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin, (20/9/2021). Suku Moi merupakan suku adat terbesar di Kabupaten Sorong, bagi mereka hutan ibarat ibu kandung yang melahirkan dan menyusui, dalam bahasa aseli Moi "Tam Sini" berarti yang memberi makan dan minum. Hingga saat ini masyarakat adat Suku Moi masih bergantung dengan hutan sebagai sumber kehidupan.