Perangkap Utang dan Potensi Masalah Pemindahan Ibu Kota

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Foto aerial kawasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Sepaku dan Samboja, Kutai Kartanegara akan menjadi lokasi ibu kota negara baru Indonesia.
Penulis: Maud Cassaignau
6/12/2019, 08.00 WIB

Bisakah Indonesia mengatasi masalah yang mengganggu ibu kotanya yang sudah terlalu padat, Jakarta, dengan memindahkan 1,5 juta orang aparatur sipil negara (ASN) ke Kalimantan Timur? Inisiatif tersebut telah direncanakan selama beberapa dekade.

Presiden Indonesia periode 2019-2024, Joko Widodo, mengumumkan bahwa pembangunan ibu kota baru akan dimulai tahun depan, sembari menunggu persetujuan parlemen.

Meskipun banyak negara di dunia yang memiliki ibu kota yang dibangun secara khusus, seperti Malaysia, Myanmar, Australia, dan Brasil, Indonesia adalah negara pertama yang membangun sebuah kota dengan alasan lingkungan. Dalam beberapa bulan terakhir, Jakarta mencapai tingkat polusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Delhi dan Beijing, keduanya terkenal karena kualitas udaranya yang buruk.

Kemacetan lalu lintas juga terbilang parah di kota ini, berkontribusi menimbulkan kabut asap hingga membebani ekonomi nasional sekitar Rp 100 triliun per tahun.

Kemacetan di Jakarta (Katadata)

Namun, banjir juga bisa dikatakan sebagai masalah yang lebih buruk. Jakarta dibangun di atas rawa dan dilewati oleh 13 aliran sungai. Kota ini semakin tenggelam oleh banjir hingga 25 sentimeter per tahun. Begitu pula tanggul laut yang dirancang untuk melindungi dataran rendah di utara.

Permintaan air minum yang tinggi, sebagian besar diekstraksi dari sumur bawah tanah, juga berkontribusi terhadap fenomena ini. Diperkirakan 95% Jakarta akan terendam banjir pada 2050.

Seolah hal itu tidak cukup, gempa bumi dan gunung berapi juga menimbulkan ancaman di Pulau Jawa. Sistem perkotaan cenderung akan lebih aman dari kehancuran akibat suatu peristiwa jika Anda mendesentralisasi layanan.

Membangun kota-kota baru merupakan hal yang tampak menarik karena Anda dapat menciptakan situasi yang murni. Anda berada di ruang kosong. Jauh lebih mudah untuk membuat sesuatu yang progresif dan meninggalkan masalah yang lalu.

Jakarta sebagai kota terbesar di Asia Tenggara, akan tetap menjadi pusat kegiatan komersial dan keuangan Indonesia. Ini adalah suatu aglomerasi perkotaan terpadat di bumi, tempat tinggal bagi 30 juta penduduk, dengan 10 juta penduduk di Jakarta Pusat, dan sisanya di daerah-daerah di sekitar kota.

Dilema Pemindahan Ibu Kota 

Apakah pemindahan ibu kota akan menimbulkan lebih banyak masalah? Memisahkan fungsi ekonomi dan administrasi Jakarta dapat menciptakan serangkaian masalah yang berbeda pula. Jika hal itu dapat mengakibatkan sekelompok birokrat elite membuat keputusan yang memengaruhi orang-orang yang jauh dari mereka, baik secara geografis maupun secara sosial ekonomi.

Biaya untuk memindahkan ibu kota 1.000 km ke utara selama 10 tahun diperkirakan mencapai Rp 466 triliun (AUS$ 48,7 miliar). Sekitar 19% dari kebutuhan dana itu merupakan hasil kemitraan publik-swasta dan investasi swasta. Pengaturan itu dapat menciptakan "perangkap utang" terutama jika kota ini tidak berkelanjutan secara ekonomi.

Ekonom pemenang Nobel Prize, Paul Romer, berpendapat bahwa menciptakan kota-kota untuk kelas elite pada awalnya bekerja dengan baik bagi investor yang membangun blok apartemen dengan laba tinggi. Namun, Romer menunjukkan bahwa kota-kota sukses adalah kota yang menjadi rumah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, yang berkumpul karena berbagai alasan.

Kota-kota baru dapat berfungsi jika mereka berlokasi di pusat transportasi, misalnya, tempat orang berkumpul untuk bertukar barang dan ide. Contohnya, Khorgas, yang berkembang dengan cepat di perbatasan Tiongkok-Kazakhstan di Jalur Sutra Baru, tempat yang dulunya merupakan dataran tinggi yang kosong.

Di Eropa, kota Lille yang bersejarah di Prancis Utara sekarang menjadi pusat jaringan kereta berkecepatan tinggi Eropa, dan menjadi pusat investasi serta kreativitas.

Teluk Balikpapan yang menjadi pintu masuk ke ibu kota negara yang baru. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ibu kota baru akan dibangun di atas tanah negara yang ada di dekat kota pelabuhan Balikpapan dan ibu kota provinsi Samarinda. Namun, belum jelas apakah ibu kota baru akan diintegrasikan dengan pusat-pusat kota yang ada, seperti yang saya harapkan, atau apakah kota itu akan dibangun sebagai daerah terpisah.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menggambarkan lokasi ibu kota baru yang berada di pusat geografis Indonesia, sebagai lokasi yang "sangat strategis". Namun beberapa minggu kemudian, di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang memproduksi minyak kelapa sawit terjadi kebakaran hutan yang sangat merusak.

Pembakaran lahan terjadi hanya sekitar sebulan setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan moratorium permanen deforestasi di Indonesia. Kesenjangan antara retorika dan kenyataan ini membuat para pengamat skeptis terhadap klaim yang menyatakan bahwa ibu kota baru akan memberikan kesempatan bagi rehabilitasi hutan di sekitar Kalimantan Timur.

Lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur. ( ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Namun jika rakyat Indonesia menentang pembukaan lahan yang berlebihan, ibu kota baru tersebut dapat memberikan kesempatan untuk menciptakan pusat kota yang disesuaikan dengan iklim di daerah tropis. Gedung kaca dengan gaya internasional bukanlah model yang berkelanjutan.

Ada hal-hal menarik lain yang bisa dilakukan pemerintah. Misalnya, menggunakan strategi pasif untuk menjaga bangunan tetap dingin di iklim tropis sehingga di ibu kota baru tidak perlu pendingin udara. Hal ini dimungkinkan dengan melihat orientasi bangunan, ventilasi silang, dan langkah-langkah untuk membuat peneduh seperti tenda, atau fasad berlubang. Pemerintah juga bisa menemukan cara membangun yang mengacu pada cara hidup masyarakat lokal.

Desain perkotaan yang peka terhadap air mencari cara yang tepat untuk mengintegrasikan alam di kota, menangkap air di musim hujan, mempertahankannya, memurnikan lahan basah, dan menggunakannya di musim kemarau. Strategi tersebut bisa digunakan untuk mencegah banjir.

Menangani Masalah Jakarta

Kemacetan, polusi, dan banjir di Jakarta yang mendorong pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan dapat ditanggulangi begitu para ASN telah pergi. Mitigasi banjir yang diperkenalkan di kota pelabuhan Rotterdam, Belanda, bisa ditiru. Termasuk, membuat penampungan air yang dirancang untuk diisi dengan air hujan saat dibutuhkan dan dapat berfungsi ganda sebagai teater terbuka (amphitheater) atau tempat berkumpul. Di Chennai, India, yang juga kota rawan banjir, pemerintah setempat mencari cara untuk memulihkan danau yang pernah menghiasi kota tersebut.

Terlepas dari berbagai masalahnya, Jakarta diperkirakan akan terus tumbuh. Semakin banyak orang akan pindah ke kota tersebut, bukan hanya dari Indonesia tetapi juga dari seluruh dunia. Dunia semakin terurbanisasi, banyak kota terutama di daerah tropis sangat rentan akan hal ini. Dalam beberapa tahun ke depan, Anda akan melihat lebih banyak kota yang menghadapi dilema relokasi seperti Jakarta.

Maud Cassaignau
Desainer dan arsitek urban Monash Art Design & Architecture

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.