Defisit transaksi berjalan masih akan terus berlanjut. Namun, perekonomian sudah bergerak ke arah yang benar. Serangkaian reformasi telah dilakukan oleh pemerintah Jokowi-JK untuk memperbaiki masalah struktural di bidang ekonomi.
Sulit sebenarnya mengetahui bagaimana penilaian pasar keuangan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Terlalu banyak variabel dan faktor yang memang datang dari luar negeri.
Contohnya, pasar keuangan sangat sensitif terhadap prospek peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan perkembangan geopolitik di Timur Tengah yang berdampak terhadap harga minyak dunia. Dan sejak akhir tahun 2016, pedagang saham di Bursa Efek Indonesia, investor obligasi rupiah di Singapura, hingga manager hedge fund di New York sebenarnya lebih memperhatikan akun Twitter Donald Trump ketimbang data makro Indonesia.
Meski begitu, ada beberapa yang menarik dari performa pasar keuangan di era Jokowi-JK ini. Saya akan fokus melihat di pasar obligasi pemerintah Indonesia karena ini tempat yang tepat untuk melihat respons investor terhadap kebijakan pemerintah.
Pialang saham di bursa efek lebih mencermati performa perusahaan-perusahaan terbuka. Sementara pedagang mata uang biasanya lebih mengikuti tren di market dan terkadang ada yang lebih berspekulasi. Adapun, kebanyakan investor obligasi menempatkan investasi berdasarkan pandangan makroekonomi mereka.
Pemerintah di banyak negara menerbitkan obligasi untuk membantu membiayai pengeluaran. Lalu, investor meneliti kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa mempengaruhi risiko obligasi tersebut. Jika utang pemerintah terus bertambah karena adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak efektif, maka akan ada terjadinya sell-off di pasar obligasi.
Jika bank sentral terus-menerus menahan suku bunganya di level yang sama walaupun inflasi terus meningkat pesat, maka investor obligasi juga akan menjadi yang pertama keluar dari negara itu.
Menurut data Bank Indonesia, total jumlah Surat Berharga Negara (SBN – obligasi pemerintah dalam denominasi rupiah) yang bisa diperdagangkan di pasar mencapai Rp 2.440 triliun pada Januari 2009. Ini lebih dari dua kali dibandingkan jumlah pada Juli 2014 sebesar Rp 1.150 triliun, saat Jokowi memenangkan pemilu.
Di periode yang sama (antara Juli 2014-Januari 2019), jumlah SBN yang dimiliki oleh investor asing juga meningkat dari Rp 410 triliun ke Rp 910 triliun. Sebanyak 33 bulan dari total 54 bulan sepanjang periode tersebut, pasar obligasi mencatat net investor asing positif. Adanya peningkatan investor asing di pasar obligasi Indonesia mencerminkan adanya peningkatan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia.
Yang lebih menarik dicermati adalah episode global market sell-off pada 2018. Peningkatan suku bunga yang cukup agresif di AS dan adanya perang dagang antara pemerintah AS dan Tiongkok menyebabkan penurunan tajam di pasar keuangan global. Para investor memilih mengalokasikan investasinya ke cash sehingga dolar AS kembali menjadi raja di dunia.
Tidak penting apakah seorang investor memiliki saham ataupun obligasi, dia tetap akan mengalami kerugian sewaktu terjadi tren aksi jual aset di pasar global pada 2018 lalu. Pasar keuangan Indonesia pun ikut terimbas.
Kurs rupiah terhadap dolar AS melemah sekitar 13,5 persen pada periode Januari-Oktober 2018. Ingat bahwa pertengahan 2018 juga marak adanya rumor bahwa nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 15.000 per dolar AS. Biasanya hal-hal seperti ini sangat menakutkan investor asing.
Namun, fakta yang terjadi di tengah market sell-off ini, jumlah investasi yang keluar dari pasar obligasi SBN hanya mencapai Rp 40 triliun atau sekitar 9 persen dari total investasi yang masuk pada periode Juli 2014-Desember 2017.
Artinya hanya 1 dari 10 investor yang memilih kabur dari Indonesia pada 2018. Sedangkan, 9 investor lainnya tetap percaya pada prospek jangka panjang Indonesia dan akhirnya memilih tetap berinvestasi di sini. Tanpa adanya kepercayaan ini, tentunya investasi yang akan keluar dari pasar SBN akan lebih dari Rp 40 triliun pada tahun lalu.
Lampu Hijau Lembaga Rating
Kepercayaan investor di pasar keuangan sejatinya berakar dari perbaikan peringkat utang oleh beberapa lembaga pemeringkat dalam dua tahun terakhir. Standard & Poor’s (S&P) menaikkan peringkat kredit Indonesia ke investment-grade pada Mei 2017.
Sedangkan, Fitch dan Moody’s juga meningkatkan rating Indonesia ke satu level di atas batas minimum investment-grade pada Desember 2017 dan April 2018, yang intinya memperkuat status investment-grade bagi Indonesia.
Perbaikan peringkat utang S&P di tahun 2017 lalu merupakan momen yang penting bagi Indonesia. Sebab, ini adalah pertama kalinya sejak krisis finansial 1997-98, Indonesia kembali memperoleh peringkat investment-grade dari tiga perusahaan credit rating terbesar dunia.
Setidaknya ada sejumlah alasan yang sama dari ketiga lembaga rating tersebut dalam memutuskan kenaikan peringkat kredit Indonesia. Pertama, pemerintahan Jokowi-JK dinilai tetap berkomitmen menjaga kestabilan fiskal.
Defisit anggaran belanja pemerintah tetap dijaga di bawah 3 persen PDB. Oleh karenanya, utang negara diperkirakan tetap di bawah 30% dari PDB. Ini adalah salah satu yang terendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang mempunyai investment-grade.
Kedua, lembaga rating menyambut baik kebijakan-kebijakan reformasi ekonomi yang telah diluncurkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Misalnya, keputusan mengalihkan anggaran subsidi energi untuk pembangunan infrastruktur dinilai sebagai langkah tepat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebab, pembangunan infrastruktur memang tidak semestinya membawa manfaat dalam waktu cepat.
Kebijakan lain yang dinilai positif adalah koordinasi efektif antara pemerintahan dan Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan ketahanan perekonomian Indonesia guna menghadapi guncangan eksternal.
Kenaikan peringkat utang dari S&P pada Mei 2017 tentu saja menjadi penting karena membuka ruang peningkatan investasi portofolio ke Indonesia. Sebab, sebelum Mei 2017, jika seorang pedagang obligasi menawarkan surat utang pemerintah Indonesia berjangka 10 tahun kepada rekannya di Wall Street, New York, mereka akan merespons begini: “Maaf ya, dana kami hanya diamanatkan untuk membeli obligasi investment-grade.”
Setelah Mei 2017, rintangan itu menghilang. Apalagi, adanya upgrade lanjutan dari Fitch dan Moody’s semakin mempertegas kepercayaan institusi finansial dunia terhadap perekonomian Indonesia di bawah Jokowi-JK.
Kendala Defisit Transaksi Berjalan
Bisa dibilang bahwa pelaku pasar sebenarnya mengacungkan dua jempol bagi pemerintah Jokowi-JK seandainya performa kurs rupiah terjaga sejak 2014. Sayangnya, data Bloomberg menunjukkan bahwa kurs rupiah telah melemah hingga 18 persen terhadap dolar AS sepanjang periode Juli 2014 - Febuari 2019.
Bahkan, di Asia, rupiah menjadi mata uang terlemah kedua setelah ringgit Malaysia (melemah 22 persen). Ringgit dan rupiah diikuti oleh peso Filipina dan rupee India, yang masing-masing melemah sebesar 17 persen dan 15,5 persen.
Persoalan utama yang membuat rupiah, rupee dan peso melemah tajam adalah defisit transaksi berjalan yang dihadapi oleh ketiga negara. Indonesia dan India mempunyai defisit transaksi berjalan atau current account deficit sekitar 2,5 – 3 persen dari PDB, sedangkan Filipina sebesar 2 persen dari PDB pada 2018.
Secara teori, sebagai negara berkembang yang membutuhkan investasi asing, sudah sewajarnya Indonesia memiliki defisit transaksi berjalan. Setidaknya itu yang kita pelajari dari “Economics 101” yang memaparkan tentang prinsip-prinsip makro ekonomi. Memang penyebab dari current account deficit di Indonesia adalah permasalahan struktural dalam perekonomian Indonesia.
Seperti kita ketahui, setelah proses pemulihan dari krisis keuangan 1997-98, Indonesia menjadi negara yang sangat bergantung terhadap sektor komoditas. Ketika era booming komoditas berakhir pada 2012-2013, nilai ekspor Indonesia jatuh secara signifikan. Pada saat bersamaan, Indonesia juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap barang-barang impor untuk memproduksi berbagai macam produk dalam negeri.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah guna membalikkan defisit transaksi berjalan adalah mengekang permintaan impor. Namun, ini kemungkinan besar akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan dapat memicu resesi.
Karena itu, mengatasi permasalahan struktural ekonomi Indonesia memang perlu perombakan besar-besaran, baik terhadap infrastruktur fisik dan non-fisik. Tambalan sekilas tidak akan menyelesaikan masalah. Sumber akar masalahnya yang harus ditangani dengan benar.
Ini sama halnya ketika Anda menemukan masalah genangan air di kamar mandi Anda. Jika itu disebabkan oleh kebocoran keran air, maka tukang ledeng dapat mengatasinya dengan cepat. Namun, jika penyebab kebocoran juga disebabkan oleh kebocoran pipa yang tersembunyi di lantai atas kamar mandi dan adanya korosi di atap rumah, maka permasalahannya tidak bisa cepat diselesaikan.
Sebenarnya, melalui serangkaian reformasi yang dilaksanakan selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Jokowi-JK telah berusaha memperbaiki masalah struktural ini. Insentif bagi sektor manufaktur dan peningkatan konektivitas transportasi di seluruh negeri hanyalah beberapa contoh.
Reformasi itu memang tidak bisa langsung mengubah Indonesia menjadi raksasa manufaktur berikutnya di Asia. Salah satu alasannya biaya logistik Indonesia belum bisa kompetitif dibandingkan Thailand ataupun Malaysia dalam waktu dekat.
Yang paling utama bagi Indonesia adalah perekonomian sudah bergerak ke arah yang benar. Satu pencapaian kecil yang tidak kalah penting adalah kenyataan bahwa persentase impor barang-barang konsumsi dari total nilai impor telah turun menjadi 13,8 persen pada 2018 dari 14,6 persen pada 2014.
Defisit transaksi berjalan mungkin tetap akan ada, tetapi setidaknya Indonesia sekarang mengimpor lebih banyak bahan baku dan barang modal - yang relatif lebih produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Upaya lain yang perlu dilakukan untuk meredakan kekhawatiran pasar atas kesinambungan defisit transaksi berjalan adalah meningkatkan jumlah investasi asing di sektor riil (FDI). Pada umumnya, jika defisit transaksi berjalan melebihi jumlah FDI, artinya defisit transaksi berjalan juga akan dibiayai oleh investasi portofolio yang berjangka pendek. Jika ini yang terjadi, mata uang lokal akan rentan terhadap adanya global market sell-off.
Sayangnya, selama tiga tahun terakhir, jumlah FDI ke Indonesia rata-rata sekitar US$ 20 miliar per tahun atau hanya sekitar 2 persen dari PDB. Ini berarti lebih rendah dari defisit transaksi berjalan dan lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga lainnya. Contohnya, Vietnam. Menurut data Bank Dunia, negara ini mampu menarik FDI hingga 6,3 persen dari PDB pada tahun 2017.
Keyakinan di Pasar
Pemerintah memang masih akan perlu kerja keras untuk terus membenahi masalah struktural, termasuk peningkatan FDI. Sedangkan, manfaat penuh dari pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung mungkin baru akan terasa beberapa tahun ke depan. Untuk sementara ini, kecuali pemerintah ingin mengambil risiko resesi, defisit transaksi berjalan akan tetap ada.
Hampir pasti, kurs rupiah masih akan berada di bawah tekanan lagi pada episode global market sell-off berikutnya, baik itu karena ketegangan geopolitik di Timur Tengah, tanda-tanda perlambatan ekonomi yang tajam di Tiongkok atau hanya karena tweet Donald Trump. Ini akan tercermin dari pelaku investor obligasi saat menghadapi situasi tersebut.
Dugaan saya, kebanyakan dari mereka akan tetap tenang dan tetap berinvestasi di Indonesia. Dan, itu juga bukan karena alasan yang tidak rasional.
(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.