Sisi Rawan Klaster Lingkungan UU Cipta Kerja

123RF.com/tomwang
Ilustrasi kerusakan lingkungan
Penulis: Rio Christiawan
15/10/2020, 07.00 WIB

Miquel Ramos (2016), pakar sustainability menjelaskan bahwa dalam paradigma compliance hanya membentuk kepatuhan bukan ketergantungan satu sama lain antara lingkungan dan bisnis maupun sebaliknya. Demikian juga paradigma compliance yang ada dalam UU Cipta Kerja tidak mengandung aspek restorasi (perbaikan) lingkungan sehingga degradasi lingkungan yang timbul dari investasi tidak dapat direstorasi (utamanya bagi investasi yang menyangkut sumber daya alam).

Sebaliknya, UU Cipta kerja dalam hal ini harus mengakomodasi paradigma sustainability dengan triple bottom line-nya (people, profit and planet) sehingga akan melahirkan kondisi ketergantungan antara bisnis dan lingkungan, demikian sebaliknya. Konsep sustainability ini akan melahirkan tindakan konkrit berupa restorasi lingkungan hidup sehingga terjadinya degradasi kualitas lingkungan akan dapat diatasi.

Khususnya terkait dengan klaster lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja, masyarakat tidak perlu gegabah melakukan uji materiil melalui Mahkamah Konstitusi. Sekalipun Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi, hal tersebut juga bukan merupakan solusi bagi terakomodasinya paradigma sustainability pada aturan lingkungan hidup.

Sebagaimana diketahui, hingga saat ini ketentuan lingkungan hidup yang ada juga belum mengadopsi paradigma sustainability pada peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup. Artinya membatalkan klaster lingkungan hidup UU Cipta Kerja melalui Mahkamah konstitusi bukan pilihan terbaik untuk mengatasi degradasi lingkungan hidup yang terjadi.

Dalam hal ini, tidak sempurnanya klaster lingkungan menjadi peluang untuk mengakomodasi aspek sustainability ke dalam regulasi lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui bahwa UU Cipta Kerja masih membutuhkan aturan pelaksanaan seperti peraturan menteri. Dengan demikian, masih terbuka kemungkinan untuk mengintegrasikan aspek sustainability dalam UU Cipta Kerja, yakni melalui aturan turunan.

Karena itu penting untuk mengawal pembuatan aturan turunan agar aspek sustainability dapat terakomodasi. Tujuan mengintegrasikan aspek sustainability dalam regulasi lingkungan hidup adalah agar terwujud green growth economic, yakni development dan pertumbuhan ekonomi dengan mendasarkan pada kelestarian lingkungan. Dengan demikian, degradasi lingkungan akibat berkembangnya investasi dapat diatasi, sebaliknya investor akan melakukan restorasi lingkungan demi kelanjutan bisnisnya sehingga terbentuk mutualisme antara investasi dan lingkungan.

Substansi terkait aturan turunan klaster lingkungan tersebut saat ini perlu dikawal oleh masyarakat demi perbaikan kualitas lingkungan sekaligus kesinambungan dari investasi. Dengan demikian, terwujudnya green growth economic akan berkorelasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat serta perbaikan kualitas ekologis melalui tindakan restorasi.

Halaman:
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.