Menagih Perlindungan Konsumen Digital Indonesia

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
Penulis: Pingkan Audrine
5/2/2022, 07.00 WIB

Dalam tiga tahun terakhir, ekonomi digital Indonesia berkembang pesat. Menurut laporatn e-Conomy SEA 2021 dari Google, Temasek, dan Bain, ada peningkatan dari US$ 40 miliar di 2019 menjadi US$ 70 miliar per 2021.

Namun capaian ini belum diimbangi kesiapan negara dalam melindungi konsumen di era digital. Aduan masyarakat kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) masih cukup tinggi di 2021 dengan 535 aduan yang didominasi aduan terkait pinjaman online dan e-commerce.

Kondisi ini diperparah dengan absennya peta jalan yang jelas mengenai arah pengembangan ekonomi digital dan masih tertinggalnya kesiapan Indonesia dalam melindungi hak masyarakat sebagai konsumen dari produk dan layanan digital. Idealnya, negara memiliki peta jalan yang komprehensif dan holistik mengenai rencana pengembangan sektor ekonomi digital.

Peta jalan ini juga idealnya dilengkapi kerangka regulasi yang memadai untuk memberikan jaminan hukum atas hak-hak konsumen produk dan layanan digital, baik yang bersumber dari pemerintah maupun swasta. Kerangka regulasi terkait perlindungan konsumen, data pribadi, serta keamanan siber tersebut perlu mencakup peraturan di tataran undang-undang hingga ke aturan teknis setingkat peraturan menteri atau kepala badan pemerintahan.

Akibat ketiadaan peta jalan yang jelas ini adalah belum ada pembagian tugas pokok dan juga target masing-masing kementerian maupun lembaga pemerintahan yang bersinggungan dengan sektor yang sangat dinamis dan multi-layered ini. Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, serta absennya pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber dan upaya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen dari Program Legislasi Nasional prioritas 2022 menyisakan celah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Tantangan Konsumen Digital

Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan bahwa perlindungan konsumen ekonomi digital di Indonesia sangat rumit. Banyak aspeknya saling terhubung melibatkan perlindungan data, keamanan siber, sistem transaksi elektronik atau pembayaran yang aman, serta literasi digital bagi konsumen terkait kontrak dan transaksi digital.

Mengutip data dari Patroli Siber, dalam kurun Januari 2019-April 2020, tercatat setidaknya 10.516 laporan kejahatan siber -- 4.893 terkait penipuan daring, 178 pencurian data pribadi, 537 pemerasan, dan 158 laporan pembajakan sistem elektronik. Kerugian akibat kejahatan siber tersebut ditaksir mencapai Rp 61,71 miliar pada tahun 2020 dan melonjak mencapai Rp 3,88 triliun di tahun berikutnya.

Total aduan yang masuk ke Patroli Siber hingga kuartal ketiga 2021 mencapai 15.152. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga mencatat 888 juta kasus serangan siber sepanjang 2021 dan berbagai kasus kebocoran data yang menimpa lembaga pemerintah maupun pihak swasta. Banyak pihak masih memprediksi bahwa angka tersebut akan terus meningkat di tahun 2022 dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara dan masyarakat.

Pandemi Covid-19, terutama dengan perubahan pola hidup menyusul diterapkannya pembatasan sosial, sudah mendorong setidaknya delapan juta UMKM Indonesia ke dalam dunia digital. Faktor yang sama juga semakin mendorong digitalisasi di berbagai sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor ekonomi digital.

Merespon peluang tersebut, pemerintah melalui program “Bangga Buatan Indonesia” telah mempercepat pertumbuhan digitalisasi hingga mencapai 16,4 juta UMKM per Oktober 2021. Masyarakat yang melakukan transaksi ekonomi secara digital pun juga diberikan kemudahan dengan banyaknya produk dan layanan yang dapat dimanfaatkan.

Terlepas dari meluasnya produk dan layanan digital serta metode transaksi, UU Perlindungan Konsumen saat ini belum mengakomodasi hak-hak konsumen dalam transaksi digital. Beberapa ketentuan pada UU tersebut dapat diterapkan pada perdagangan elektronik, seperti hak kenyamanan dan keamanan untuk menggunakan barang dan/atau jasa.

Namun yang mencakup hak-hak khusus mengenai transaksi digital belum tercakup secara memadai. UU tersebut, misalnya, belum memuat ketentuan perlindungan dan keamanan data terkait teknik kriptografi atau kerahasiaan informasi.

Hal-hal spesifik terkait perdagangan elektronik, seperti transaksi tanpa tatap muka; penggunaan internet; jumlah dan jenis data yang boleh dikumpulkan penyelenggara/penyedia jasa transaksi elektronik lintas negara; beserta transaksi yang melibatkan produk digital dan layanan elektronik, juga belum tercakup dalam UU ini.

Revisi UU ini sebenarnya termasuk dalam prolegnas 2020–2024, namun pembahasannya belum menjadi prioritas di tengah kondisi ekonomi digital Indonesia yang masih rentan terhadap kebocoran data dan kejahatan siber. Revisi UU Perlindungan Konsumen juga tidak termasuk di antara 40 RUU yang dijadikan prioritas di 2022. Kementerian Perdagangan sejak 2019 berinisiatif memulai pembahasan revisi UU ini, namun terkendala dalam mengoordinasikannya dengan kementerian lain.

Di sisi lain, pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi belum menemukan titik temu antara Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan DPR. Memasuki Masa Sidang III Tahun 2021-2022 di Januari 2022 ini, pemerintah masih menunggu Komisi I DPR membahas Daftar Inventarisasi Masalah yang tertunda selama masa reses lalu.

Kesimpulan dalam Perlindungan Konsumen Digital 

Aspek multidimensional dari perlindungan konsumen digital menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintah sebagai regulator. Upaya mendorong percepatan digitalisasi ekonomi perlu diimbangi dengan perlindungan konsumen mulai dari tahapan perencanaan, harmonisasi tugas pokok ragam lembaga pemerintahan, hingga kesiapan kerangka regulasi yang memadai.

Langkah-langkah pemerintah dalam menjaring aspirasi para pemangku kepentingan, seperti yang diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terkait harmonisasi kelembagaan Project Management Office ekonomi digital perlu didukung masyarakat luas. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan dengan perwakilan non-pemerintah harus dilakukan secara konsisten.

Selain itu, pembahasan dan pengesahan kerangka regulasi perlindungan data pribadi, kemanan siber, juga perlindungan konsumen perlu perlu didorong dan dipercepat untuk memastikan perlindungan konsumen digital Indonesia.

Pingkan Audrine

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.